Persoalannya adalah "ketepatan historis", sejarah yang memungkinkan sekali dalam kajian adalah kerajaan Sriwijaya yang didominasi ajaran Hindu, sedangkan Melayu didominasi ajaran Islam. Tentu meletakan Palembang dan Sumatera Selatan serta UIN Raden Fatah merupakan diskursus tersendiri.
Diskursusnya, kajian Melayu sebelum ini sudah lebih banyak diminati oleh pemikirn dari Medan, Padang dan Riau. Secara sederhana juga banyak diminati oleh sarjana Malaysia. Sebagian besar wilayah Kalimantan. UIN Raden Fatah dengan mengambil distingsi ini bagaimana diejawantahkan dalam operasionalisasi keilmuan. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan temu pakar yang konsisten dan memiliki visi yang sama untuk menjadikan arah distingsi UIN Raden Fatah menjadi clear.Â
 Dari aspek keilmuan dan keilmuan politik. Benarkah sudah cocok dan tepat  berada di bawah naungan Fakultas Adab dan Budaya. Jusru setelah mengeluarkan alumni baru dirasakan "pahit" oleh pengguna dan penerima lapangan pekerjaan. Demosntrasi akhir-akhir ini merupakan cermin dimana nomenklatur keilmuan di UIN Raden Fatah masih layak untuk dikaji ulang.
Kemudian, ada juga program studi Sistem Informasi berada di bawah naungan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, tentu menyebabkan Program Studi ini menjadi belum jelas arah dan penerimaan pasar kerja.
Belum lagi, pasca pembentukan fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, akan dilanjutkan pembentukan fakultas Sains dan Teknologi, maka embrio yang mengarah pembentukan fakultas tersebut sampai dengan hari ini tidak nampak.
Kemaritiman dan Energi
Kemaritiman ini merupakan sektor yang belum digarap secara massal. Karena itu, seandainya, penguatan ada kemaritiman dan energi dipusatkan di UIN Raden Fatah, tentu sektor ini akan mengalami perkembangan signifikan. Bukan semata-mata searah dengan apa yang ingin digagas oleh Pemerintah Jokowi-JK, tetapi sektor pertanian, ekonomi, teknologi-informasi, teknologi-komunikasi, kedokteran, manajemen, pendidikan, hukum, sosial-politik dan sebagainya sudah tidak asing lain. Bukan menafikan sektor ini, namun penguatan sektor ini perlu ditingkatkan
Momentum ini sangat tepat karena kerajaan besar Sriwijaya mengutamakan sektor kemaritiman. Siapa dalam menjalankan visi tersebut antara bangsa dan Negara harus memiliki sinergisitas yang erat dalam suatu manajemen organisasi yang mengikat dan melahirkan visi bersama sebagai visi pembangunan. Sehingga visi maritim (kelautan) merupakan bagian dari visi pembangunan bangsa dan bernegara yang mengacu pada visi NKRI.
Jika kita melihat perjalanan sejarah jauh sebelum kedatangan pelaut eropa, kita memiliki peranan strategis dalam bidang maritim yang ditandai dengan adanya nationale staat yang bernama Nusantara I pada masa kerajaan Sriwijaya dan Nusantara II pada masa kerajaan Majapahit. Meskipun kita masih memiliki kesimpangsiuran data dari kedua kerajaan tersebut tetapi banyak bukti yang menyatakan akan tingginya peradaban dari kedua kerajaan tersebut sebagaimana yang pernah disebutkan oleh Ir. Soekarno dalam pidato tanggal I Juni 1945 "Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu adalahnationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit".
Makna yang terkandung dalam pernyataan ini ialah nationale state sebagai negeri maritim yang mampu menjangkau seluruh kepulauan yang berada diantara 2 benua dan 2 samudera bahkan mencakup sampai daerah campa (Thailand) dan Filipina. Atas dasar itu Negara Indonesia sebagai nationale staat yang berdiri pada tanggal 18 Agustus 1945 melingkupi daerah tersebut meskipun baru sebuah gagasan (cita-cita). Kesinambungan itu berlanjut pada perjuangan-perjuangan berikutnya dalam mencapai gagasan besar tersebut.(*)
Penulis adalah Afriantoni (Dosen IAIN Raden Fatah Palembang sekarang UIN Raden Fatah Palembang)
Tulisan ini pernah dimuat Ukhuwahnews.com tahun 2018