Pada saat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disahkan, pemerintah berkomitmen anggaran 20% yang diamanatkan UU tersebut baru akan dipenuhi pada 2009 lalu. Namun, keputusan itu kemudian digugat Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) serta Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI). Lemahnya, kemauan politik pemerintah ini mengidentikkan bahwa dunia pendidikan kita tidak akan maju sampai 20 tahun ke depan.
Padahal, kita semua sudah paham dan sepakat bahwa pendidikan adalah penting dan primer bagi masyarakat. Tetapi bagi pemerintah ternyata pendidikan belum terlalu penting dan mendesak untuk menempatkannya dalam urutan teratas atau menjadi skala prioritas untuk ditingkatkan. Bayangkan, pada tahun anggaran APBN 2008 yang telah ditetapkan pemerintah hanya menganggarkan 11,8 % untuk sektor pendidikan dari total anggaran atau sekitar 48,3 trilyun dari total 285,5 trilyun APBN.Â
Secara nominal memang ada kenaikan dibanding anggaran pendidikan tahun 2007 yang sebesar 23,1 trilyun. Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006. Tetapi secara presentase jumlah tersebut tetap tidak bergerak naik dari anggaran tahun lalu. Padahal UUD 1945 sendiri mengamanatkan bahwa setidaknya pemerintah harus menyediakan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari jumlah total APBN.
Jadi poin inti dari tulisan ini adalah bagaiman tinjauan ekonomi dalam dunia pendidikan di Indonesia ?. Bagaimana hibah anggaran untuk distribusi anggaran pendidikan ?. Kedua fokus ini menggiring pemikiran kita untuk memperjuangkan secara kuantitatif meningkatnya anggaran pendidikan sesuai amanat UUD 1945, sekaligus menggiring kita untuk menggunakan pola hibah dalam pendistribusian anggaran pendidikan.
Pendidikan Perspektif Ekonomi Politik
Sejujurnya, penulis tidak begitu memahami bagaimana sesungguhnya perkembangan ekonomi Indonesia sampai sekarang. Namun, alasan ekonomi dijadikan salah satu isu sentral bagi pemerintah untuk menekan ekonomi rakyat. Jelas pula secara kasat mana masyarakat selalu menjadi "korban" dalam upaya perbaikan ekonomi.Â
Artinya, kekuatan ekonomi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam berbagai perspektif. Kekuatan ekonomi sampai pada titik tolak tertentu juga akan mempengaruhi arah kebijakan pendidikan, para pengkaji ekonomi politik pendidikan sampai pada simpulan bahwa sekolah ikut bertanggung-jawab terhadap alokasi peluang ekonomi karena sekolah ada dan diadakan untuk meningkatkan nilai ekonomi peserta didik yang lulus. Contohnya : bagaimana lapangan pekerjaan bagi alumni lembaga-lembaga pendidikan?.
Sekolah menjadi "gengsi" dalam struktur masyarakat, karena sekolah bisa saja menjadi tangga bagi para pendaki kelas sosial. Banyak sudah bukti bahwa sekolah berperan melanggengkan dan mereproduksi struktur kelas sosial. Sakban Rosidi mengutip pendapat Mitchell and Mitchell :Â
"Much has been said about schools and the role of education in maintaining and reproducing class structures by scholars adopting this framework for analyzing the political economy. The political economy are arguably the best-known representatives of this approach to political economic theory as it applies to education. They have argued cogently, and repeatedly, that schools are at least as much responsible for the allocation of economic opportunities as they are for raising the economic value of the students who pass through them (Mitchell and Mitchell. 2003).
Kutipan diatas memberikan pembenaran terhadap strata social dan secara teoritis, kancah hubungan antar kelas ekonomi masyarakat memberi 3 (tiga) kemungkinan kedudukan dan peran negara. Menurut Sakban Rosidi mengutip Findlay kemungkin tersebut, yakni : Kemungkinan pertama, menggunakan istilah kasar Marxisme, bisa saja negara menjadi panitia pelaksana kelas borjuasi dan kelas penguasa (an executive committee of the bourgeoisie and ruling class).Â
Terlepas dari apakah siasat penguasaan mereka bersifat koersif atau hegemonik, secara hipotetik negara semata-mata merupakan piranti kelas borjuasi untuk melakukan pemerasan terhadap kelas proletar. Secara idealistik, ini tampil dalam ideologi dan sistem ekonomi liberalisme dan kapitalisme. Kemungkinan kedua, negara dikuasai oleh kelas proletar, sehingga mampu memaksa kelas borjuasi untuk tunduk pada kepentingan kelas proletar.Â