Afriantoni
Pemerhati Pendidikan
Berangkat dari kata "kapitalisasi pendidikan" dan "institusi branding" dalam benak saya hari ini. Sepemahaman saya kalimat ini telah menjadi momok dunia pendidikan akhir-akhir ini. Tetapi, saya tidak akan menguraikan maknanya. Benarkah semua sebuah kenyataan bisu. Â Apakah "kapitalisasi pendidikan" benar terjadi dalam dunia pendidikan. Apakah pergerakan dan perkembangan arus modernisasi dan globalisasi yang tidak dapat ditolak dan dihentikan penyebabnya. Nurani saya mengatakan semua memang sebuah relita yang harus dihadapi.
Beberapa dialog saya dengan rekan pegiat pendidikan menyimpulkan kalimat tersebut mengerikan. Penyebabnya, jawaban ataupun tafsirnya tentu dari perspektif masing-masing yang menuai ragam cerita. Mereka yang bergerak dalam misi agama, profesi, dan "tertentu" menjadi kecamuk tersendiri dengan metode memperoleh keuntungan yang besar untuk kembali membiayai misi tadi.
Misalnya, pemilik lembaga pendidikan sebagai pemilik modal terus mengupayakan pendidikan bermutu menyesuaikan standarisasi pendidikan nasional. Mereka akan sangat "gila-gilaan" mengambil dana sumbangan dari kosumen pendidikan. Tawaran kenyamanan fasilitas, sumber daya pendidikan yang profesional dan tingkat prestasi anak, semua menjadi tawaran yang menggiurkan. Belum lagi tawaran mereka membawa misi dengan linear sebuah universitas di beberapa perguruan tinggi dalam dan luar negeri, menjadi catatan penting bagi "institusi branding" mereka. Tetapi, apakah anak mereka kemudian memiliki prestasi dan perkembangan belajar yang baik. Saya kira tidak juga.
Pada sisi yang berbeda, lain pula jawaban dari mereka yang berasal dari kaum papa yang berjibaku untuk memperoleh pendidikan layak. Mereka hanya "menghela nafas". Â Saya pun teringat kisah film "Laskar Pelangi" dimana "para laskar" hanya bersekolah apa adanya, fasilitas terbatas, guru terbatas, mereka hanya bermodal semangat, motivasi dan kuatnya keyakinan guru untuk membawa anak-anaknya menuju kesuksesan. Mereka berdampingan dengan sekolah mewah, serba lengkap dan eskul yang luar biasa. Tetapi, kisah ini justru menunjukkan mereka yang fasilitas apa adanya berhasil meraih prestasi dibandingan sekolah mewah tersebut. Mana yang benar,? Mana yang salah?. Tetapi, itu dulu, bagaimana sekarang?. Jawabannya, masih ada tetapi volumenya terbatas.
Hal di atas, Â mungkin sebagian kecil dari cerita tentang "kapilatisasi pendidikan". Karena sebenarnya, kalimat itu memiliki potensi lebih besar meraih kesuksesan. Terutama dalam bidang nilai akademik, prestasi eskul dan akreditasi intitusi menjadi terkenal atau "institusi branding". Karena dibalik "institusi branding, terdapat "kapitalisasi pendidikan". Â Ketahuilah, dunia sekarang justru menunjukkan bahwa fasilitas, modal, dan SDM guru titik tolak pentingnya keberhasilan yang berarti pentingnya "kapitalisasi pendidikan". Walaupun, pada kenyataannya tidak jarang mereka yang kurang mampu berhasil mengalahkan mereka yang mampu dalam prestasi.
Semua itu sekali lagi terkait "institusi branding", pikiran calon konsumen lembaga pendidikan sudah tertanam akan tawaran-tawaran menarik dari lembaga tersebut, tidak ada pilihan lain kecuali memasukkan anak ke lembaga tersebut.
Memang tidak mudah membangun "institusi branding" untuk lembaga pendidikan, tawaran serba serbinya menyebabkan pemilik modal mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, tetapi jika semua berhasil, maka "kapitalisasi pendidikan" akan berlangsung mapan.
Soal "institusi branding" ini juga yang menyebabkan pihak lembaga pendidikan negeri pun beramai-ramai untuk menarik keuntungan bagi pengembangan lembaga mereka. Karena dibalik "institusi branding" adalah "kapitalisasi pendidikan", maka kenyataan membutuhkan modal lebih besar juga resiko yang harus ditanggung oleh lembaga tersebut.
Pada sisi yang berbeda, pemerintah tidak mampu membiayai seluruh institusi pendidikan sempurna dan menyaingi para lembaga pendidikan yang "branded". Pemerintah pun hanya memiliki kemampuan percontohan-percontohan agar legalitas peran pemerintah tetap baik di mata publik. Statatifikasi dalam pendidikan akhirnya terjadi dengan sendirinya tanpa direkayasa. Itulah karenanya hidup di zaman sekarang pendidikan bermutu "tetap mahal". (*)