Mohon tunggu...
Afrianto Daud
Afrianto Daud Mohon Tunggu... -

penikmat buku, pendidik, pembelajar, dan pemulung hikmah yang terserak di setiap jengkal kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Luar Negeri: Pemilih Ideologis Yang Tak Pernah Mati

9 April 2014   01:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:53 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Afrianto Daud

(Mahasiswa program Doktoral di Monash University, Australia)

Alhamdulillah, saya sudah menyalurkan hak (juga kewajiban) politik saya sebagai warga negara Indonesia dengan datang mencoblos langsung di TPS 1 KBRI London kemaren sore, 5 April 2014. Berbeda dengan pemilihan di dalam negeri yang baru akan melaksanakan pencoblosan pada tanggal 9 April, pencoblosan di luar negeri memang dilakukan lebih awal, dimana beberapa negara seperti UK, Australia, Belanda, dan beberapa negara lainnya melaksanakannya tanggal 5 April 2014. Pelaksanaan yang lebih awal ini adalah lebih karena panitia pemilu berharap partisipasi pemilih bisa lebih banyak, karena dilakukan di akhir pekan.

Saya sendiri awalnya terdaftar sebagai calon pemilih di Melbourne, Australia. Namun, saya menggunakan hak pilih saya di London, karena saya sedang mengikuti sebuah konfrensi di kota Harrogate - sebuah kota yang asri dan teratur sekitar 30 km dari kota Leeds, UK. Saya harus naik kereta cepat kas transportasi Inggris selama 2,5 jam dari Leeds ke jantung kota London ‘hanya’ untuk satu lembar suara ini.

Bagi sebagian orang barangkali usaha serius untuk nyoblos sepert ini bisa dianggap berlebihan, namun bagi saya ini adalah satu hal yang mesti diupayakan. Mudah-mudahan ini adalah satu noktah kecil dari usaha saya untuk berpartisipasi dalam terpilihnya anggota legislatif yang lebih baik pada masa yang akan datang. Saya percaya bahwa samudra luas itu kalau dibreakdown sesungguhnya adalah kumpulan tetes-tetes air. Dan satu pilihan, saya niatkan sebagai ’satu tetes air’ yang bisa saya berikan untuk samudra Indonesa yang sangat luas itu ;-)

Saya tidak akan menceritakan lebih jauh tentang perjalanan dan pilihan politik saya, namun saya ingin berbagi refleksi dan menuliskan laporan pandangan mata pelaksanaan pemilu di luar negeri, plus dari berita yang saya dapat dari beberapa teman yang menjadi panitia pemilu luar negeri di beberapa negara.

Secara umum, pemilihan di luar negeri berjalan baik. Sampai detik ini belum saya dengar pemilihan luar negeri yang bermasalah serius. Prediksi sebagian orang bahwa partisipasi pemilih akan rendah di pemilu kali ini tidak sepenuhnya terjadi pada pemilihan luar negeri. Ada kecenderungan bahwa jumlah pemilih yang datang ke TPS meningkat tajam dibanding pemilu sebelumnya. Ketika saya mencoblos di KBRI London, saya melihat sendiri ramainya warga Indonesia yang datang.  Catatan seorang teman panitia di KBRI London menunjukkan bahwa sedikitnya saat ini sudah lebih dari 650norang yang datang ke KBRI untuk mencoblos (belum lagi yang mengirim suara via pos). Angka ini hampir tiga kali lipat dari jumlah pemilih yang mencoblos pada pileg 2009.

Seorang teman di Den Hag juga mengabarkan bahwa angka partisipasi pemilih yang datang meningkat tiga kali lipat dari pemilu sebelumnya. Fenomena yang sama juga terjadi di Jerman! Qatar, dan Australia. Bahwa banyak warga yang sebelumnya mungkin terlihat ‘apolitis’, tapi justru datang antusias ke lokasi pencoblosan. Satu kelompok masyarakat tertentu di Melbourne, misalnya, telah datang di lokasi TPS setengah jam sebelum TPS dibuka.

Eksisnya Pemilih Ideologis

Jika para pemilih itu dibagi ke dalam beberapa tipologi pemilih, seperti pemilih tradisional primordial, pemilih rasional kalkulatif, pemilih pragmatis, pemilih emosional, dan pemilih ideologis, dalam pengamatan saya yang paling terlihat bersemangat mendatangi TPS di luar negeri adalah mereka yang termasuk kategori pemilih ideologis. Pemilih ideologis adalah mereka yang memilih parpol atau caleg tertentu berdasarkan pertimbangan kedekatan nilai dan norma yang dimiliki oleh parpol atau caleg pilihannya. Mereka yang memilih karena kedekatan nilai keagamaan misalnya adalah termasuk mereka tipe pemilih ideologis ini.

Parpol apa yang paling kelihatan paling aktif di pemilu luar negeri? Bagi mereka yang tinggal di luar negeri akan dengan mudah mengidentifikasi bahwa PKS adalah parpol yang kelihatan eksis di pemilu luar negeri. Eksistensi PKS, misalnya, terlihat dari tampilnya mereka sebagai satu-satunya partai yang hampir selalu menempatkan kadernya sebagai saksi dalam pemilu luar negeri. Ketika saya mencoblos di KBRI London kemaren, misalnya, hanya ada satu orang wanita berjilbab putih yang duduk di meja saksi parpol. Fenomena yang sama juga terjadi di Melbourne, Australia. PIP PKS Australia dalam rilis beritanya bahkan mengabarkan menurunkan 333 orang saksi dalam pemilu kali ini untuk seluruh Australia. Eksisnya parpol semacam PKS di luar negeri sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Fenomena ini terjadi dari pemilu ke pemilu.

Namun, sekalipun PKS adalah partai yang secara resmi sering menghadirkan kadernya dalam proses pemilihan, bukan berarti pemilih partai lain tidak eksis. Tidak juga berarti bahwa PKS selalu menjadi pemenang pemilu di luar negeri.

Fenomena di banyak TPS di luar negeri kemaren adalah bahwa TPS itu justru lebih diramaikan oleh warga keturunan, non-pri, dan mayoritas mereka non muslim. Mereka berasal dari para pelajar Indonesia dan juga mereka yang sudah menjadi residen di banyak negara. Dari cerita beberapa teman, cukup banyak kelompok warga ini yang selama ini tidak pernah kelihatan bersama kegiatan masyarakat Indonesia. Namun, mereka ‘tiba-tiba’ nongol pada hari pencoblosan. Seorang teman memperkirakan ada gerakan sistematis untuk mengerahkan massa. Namun, bagi saya sistematis atau tidak, pengerahan massa atau pengerahan ummat untuk mengikuti pemilu adalah suatu hal yang sah dan boleh saja dilakukan siapapun.

Saya menduga mereka yang ramai datang ke TPS ini adalah mereka para pemilih ideologis yang lain. Jika PKS dikenal eksis karena ideologi politiknya yang berhaluan Isalam, kelompok pemilih yang saya ceritakan di atas sepertinya mereka yang dulu membulatkan suara untuk parpol ideologis lainnya, Partai Damai Sejahtera (PDS). Kekompakan ini dulu mereka buktikan dengan menjadi pemenang pemilu di kota Melbourne pada tahun 1999. Sekalipun PDS saat ini sudah tidak eksis, kelompok ideologis ini saya lihat masih eksis secara politik.

Persaingan Ketat PKS dan PDIP

Eksisnya pemilih berbasis ideologis tentu adalah suatu hal yang sah dan dijamin undang-undang. Dalam batas tertentu, parpol ideologis ini justru diperlukan, agar warna dan orientasi politik mereka menjadi jelas dan berbeda dengan yang lain. Ideologi yang kuat adalah sumber energi parpol dalam bergerak sekaligus dia berfungsi sebagai kompas yang mengarahkan roadmap - peta jalan - kemana parpol yang bersangkutan akan berjalan.

Yang menarik kemudian adalah menganalisa kemana suara kelompok ideologis ‘mantan PDS’ ini akan berlabuh? Melihat peta dan konstelasi politik nasional terakhir saya menduga besar kemungkinan suara mereka akan mayoritas (untuk tidak menyebut ‘bulat’) kepada PDIP. Bukan karena PDIP dianggap sebagai partai paling bersih atau paling hebat, namun pilihan mereka kepada PDIP sangat mungkin lebih karena pertimbangan ideologi tadi itu. Sederhananya, 5 dari 7 caleg luar negeri PDIP adalah non-muslim. Sekali lagi, pilihan dan kecederungan politik ini adalah suatu hal yang sah dan ‘halal’ dalam sebuah pertarungan politik dalam bingkai demokrasi.

Dengan demikian, saya menduga suara PDIP akan signifikan di beberapa negara yang dulu merupakan basis PDS. Kejayaan PDIP ini kemudian diperbesar kemungkinannya karena melemahnya kesolidan pemilih ideologis muslim di luar negeri yang dulu mungkin sebagian memilih PKS. Upaya demarketing PKS oleh banyak media mainstream sepertinya cukup berhasil. Tak sedikit pemilih muslim yang mengamini persepsi yang terbentuk media, bahwa agama tak lagi relevan menjadi alasan untuk preferensi pilihan politik. Bahwa partai berbasis agama semisal PKSpun sudah tak layak pilih. Sebagian mereka kemudian antipati dengan pemilu dan memutuskan golput. Hal ini adalah tentu suatu hal yang paradoks dan memiriskan hati - berpuas diri menjadi penonton pemilu, saat kelompok dan atau ‘ummat’ yang lain berbondong-bondong menuju TPS.

Walaupun sebagian ada yang apatis, masih cukup banyak pemilih muslim yang tetap datang ke TPS. Melihat eksistensi para kader PKS di banyak negara, saya menduga suara PKS akan bersaing ketat dengan PDIP di banyak negara. Semoga hasil pesta demokrasi kita tahun ini bisa membawa bangsa kita menjadi lebih baik di masa depan. Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun