Oleh. Afrianto Daud
Gempita kampanye pemilihan presiden kian terdengar riuh rendah, baik di darat maupun di dunia maya. Seru dan menarik menyaksikan bagaimana kedua kubu pasang calon presiden ini saling menjual diri, saling serang, dan pada saat yang sama berusaha ‘mematikan’ yang lain. Beragam kampanye negatif bertebaran di dunia maya. Mulai dari isu HAM, toleransi, integrasi bangsa, sampai isu berbau SARA. Kampanye negatif itu bahkan kadang masuk ke wilayah propaganda hitam, yaitu ketika berbagai berita ‘tak jelas’ bertebaran di laman media sosial yang mengandung informasi yang tidak bisa diverifikasi keabsahannya.
Serunya pilpres ini menjadi lebih terasa ketika masyarakat ‘dipaksa’ hanya dengan dua pilihan – Prabowo-Hatta atau Jokowi-Kalla. Karenanya kemudian jutaan orang berkepentingan tahu lebih dalam tentang dua sosok ini. Kedua pasang ini memang perlu dibedah ‘luar dalam’ mereka. Karena salah satu dari mereka akan menjadi pemimpin dari lebih 245 juta jiwa bangsa Indonesia.
Menarik bagaimana melihat gerakan grafik elektabilitas kedua pasang ini sejak resmi didekalasikan sebagai pasangan capres. Jokowi-Kalla memulai pertarungan dengan percaya diri tinggi, karena memiliki modal elektabilitas yang jauh dari Prabowo di masa-masa awal pencapresannya. Beragam survey menjelang penentuan capres menyebut bahwa Jokowi adalah capres dengan elektabilitas tertinggi dibanding calon lain. Survey Pol Tracking Institute menjelang akhir 2013, misalnya, menyebut bahwa bahwa Jokowi memiliki tingkat elektabilitas tertinggi. Tingkat keterpilihan Jokowi waktu itu diangka 37,46%, jauh meninggalkan kandidat lain seperti Prabowo yang hanya mendapatkan 11,72 % dan Aburizal Bakrie sebesar 11,67%. Inilah barangkali diantara alasan kubu Jokowi yang dikabarkan sangat percaya diri bisa memenangkan pertarungan dengan mudah. Untuk alasan inilah juga dulu kubu PDIP sempat mewacanakan Puan Maharani sebagai calon wakil pendamping Jokowi.
Sementara Prabowo sendiri memulai pertarungan dengan angka elektabilitas yang relatif rendah, yaitu di sekitar 17 persen pada bulan April 2012 dengan keungulan pada sosok Jokowi (LSI, 2012). Namun, secara konsisten eletabilitas Prabowo terus naik sampai pada titik yang beda tipis dengan Jokowi. Ketua tim pemenangan kubu Prabowo menyebut bahwa saat ini digit beda angka elektabilitas Prabowo dan Jokowi itu hanya sekitar 4-5 persen saja. Mahfud optimis bahwa pada hari H pencoblosan (9 juli mendatang), Prabowo-Hatta akan bisa memenangkan pertarungan pemilihan presiden dengan angka lebih di atas 60 persen (Antara, 6/06/2014) . Hasil survei Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) juga menyebut kecendrungan yang sama, yaitu setelah Mahfud MD bergabung dengan Prabowo-Hatta pada tanggal 24 Mei 2014, selisih ketertinggalan Prabowo sudah sangat tipis menjadi 3%, yakni Jokowi-JK 43% sedangkan Prabowo-Hatta 40%.
Yang tak kalah menarik adalah hasil survey LSI terakhir (di awal Mei 2014 di 33 provinsi dengan sampel 2.400 responden) bahwa walaupun di beberapa wilayah di Jawa Jokowi-Kalla masih unggul dibanding Prabowo-Hatta, namun survey LSI mengindikasikan bahwa Prabowo-Hatta saat ini sudah unggul di jantung ibu kota, Jakarta, dan provinsi Banten. Ini adalah dua provinsi penting sebagai barometer suara nasional, selain provinsi lain di pulau Jawa.
Apalagi jika kembali ke belakang, walaupun ditentang beberapa kalangan di Jakarta, salah satu yang membuat kubu Jokowi percaya diri ‘melompat’ dari posisinya sebagai gubernur DKI Jakarta dan kemudian mencalonkan diri menjadi calon presiden adalah kemenangannya yang fenomenalpada pemilihan gubernur DKI Jakarta. Maka rendahnya elektabilitas Jokowi di propinsi dimana dia pernah menjadi jawara ini bisa menjadi pertanda dan warning penting bagi tim Jokowi untuk waspada penuh dan terus berkreativitas agar bisa menjadi pemenang.
Dari Jokowi Effect ke Jokowi Fatigue?
Saya menduga bahwa ada kecendrungan sebagian masyarakat mulai mengalami kejenuhan dengan publikasi popularitas Jokowi yang cendrung overdosis. Kampanye dan politik pencitraan yang dibangun Jokowi dan tim suksesnya sepertinya hanya mengulang cerita yang sama dari waktu ke waktu. Kurang lebih berita tentang Jokowi berkisar tentang keberhasilannya menata kota Solo, kedekatannya dengan masyarakat dalam bentuk blusukan, atau penampilannya yang sederhana dengan berpakaian ala kebanyakan masyarakat kecil. Masyarakat seperti tidak mendapatkan sesuatu yang baru dari tampilan Jokowi belakangan.
Jokowi kelihatan ‘gagap’ saat berbicara tentang hal-hal yang abstrak, terkait visi misi atau tentang ide besar mengenai Indonesia masa depan. Pidato tiga menitnya dihadapan KPU yang disaksikan jutaan orang pada hari Minngu, 1 Juni 2014 lalu dinilai banyak orang kurang meyakinkan. Beda jauh dengan pidato Prabowo yang dengan cerdas bisa memanfaatkan momen itu untuk ‘menjual’ siapa dirinya sesungguhnya. Penampilan Jokowi yang terlihat ‘kaku’ saat kampanye pemilu damai dua hari setelah itu juga menjadi sasaran tembak para lawan politiknya. Jokowi terkesan tidak dalam suasana cool (untuk tidak menyebut sedang di bawah tekanan). Beberapa dialog Jokowi tentang Indonesia masa depan di beberapa media elektronik juga dirasa oleh sebagian kalangan kurang meyakinkan. Paparan Jokowi tentang usaha revolusi mental, misalnya, dianggap sebagian pengamat seperti kurang menguasai masalah secara komprehensif.
Pada saat yang sama, Prabowo tampil meyakinkan publik. Prabowo seperti sangat siap luar dalam untuk menghadapi pertempuran ini. Sikap hormat Prabowo kepada kubu Jokowi pada hari pengambilan nomor itu diberi applause oleh banyak orang. Pidato Prabowo juga mengesankan dirinya sebagai seorang dengan mentalitas negarawan sejati. Paparan visi misi Prabowo tentang Indonesia masa depan yang bertumpu pada kemandirian ekonomi, pertanian, dan yang lainnya dianggap sebagian kalangan lebih meyakinkan publik.
Pada saat yang sama, Prabowo seperti mengubah strategi kampanyenya. Berbeda dengan masa-masa awal kampanye legislatif ketika Prabowo cukup sering menyerang kubu Jokowi dengan terang-terangan (menyebut kubu Jokowi sebagai pembohong dan capres boneka, misalnya), sekarang Prabowo tampil lebih cooldan lebih santun. Hampir tak ada lagi pidato yang bernada menyerang dari Prabowo.
Di lain pihak, Jokowi justru mengambil inisiasi menyerang dan kelihatan lebih agresif. Beberapa kali Jokowi menyindir soal parpol yang minta jatah menteri, yang diyakini ditujukan untuk parpol-parpol yang merapat ke Prabowo-Hatta. Sindiran ini dia lontarkan beberapa kali dan menjadi materi 'wajib' pidatonya di depan relawan. (Silahkan baca analisa terkait ini dari detik.com pada link berikut: http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/06/03/061438/2597882/1562/1/prabowo-yang-kian-santun-dan-jokowi-yang-makin-agresif)
Melihat kecendrunag dan dinamika kampanye capres belakangan, saya menduga bukan tidak mungkin popularitas Jokowi akan berakhir dengan anti klimaks. Yaitu ketika banyak orang mulai jenuh dengan cerita tentang Jokowi yang bernada sama (‘Jokowi Fatigue’), dan kemudian justru mulai bersimpati kepada Prabowo pada hari menjelang pemilihan presiden.
Wallahua’alam.
*Afrianto Daud adalah analis politik, sedang menempuh studi doktoral di Monash University, Australia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H