Mohon tunggu...
Afrianto Daud
Afrianto Daud Mohon Tunggu... -

penikmat buku, pendidik, pembelajar, dan pemulung hikmah yang terserak di setiap jengkal kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membaca 'Revolusi Mental' Jokowi

17 Mei 2014   02:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:27 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14002433981777141878

Oleh: Afrianto Daud

(Kandidat PhD di FakultasPendidikan, Monash University Australia)

Tulisan Jokowi berjudul ‘Revolusi Mental’ yang diterbitkan di halaman opini harian Kompas (10/05/2014) ramai dibicarakan para netizen di ruang sosial media dua atau tiga hari setelah itu tulisan terbit. Beragam tanggapan bermunculan. Para pemujaJokowimereposttulisantersebut di halaman facebook atau mentwitkan linknya di akun twit mereka dengan beberapa tambahan kalimat bernada kampanye. Mereka seakan ingin menjawab keraguan sebagian pihak tentang sang calon presiden terkait visi misi Jokowi dalam memimpin Indonesia masa depan. Tulisan Jokowi juga dijadikan momentum untuk menunjukkan bahwa Jokowi adalah seorang intelektual yang juga bisa bermain di level wacana, layaknya para akademisi.

Pada saat yang sama, tulisan itu ditanggapi berbeda oleh sebagian yang lain. Sebagiandiskusi di media social bahkancendrungkeluardari substansi tawaran ide Jokowi dalam tulisannya itu. Perdebatan justru mengarah pada orisinalitas tulisan Jokowi, apakah benar dibikin oleh Jokowi sendiri atau justru ditulis oleh tim suksesnya atau malah menggunakan jasa para ghost writer. Saya termasuk yang awalnya berpikir hal yang sama. Apalagiadatulisandenganjudul yang sama (dengankonten mirip) yang ditulissaudaraBenny Susetyo di harianSindopadahari yang sama.

Diterbitkannnya tulisan Jokowi di media nasional kelas atas, Kompas, tentu memiliki nilai tersendiri. Mereka yang bergelut di dunia kepenulisan tentu paham bahwa tidak mudah menembus kolom opini surat kabar dengan tiras pembaca terbesar sejenis Kompas. Hanya mereka yang memiliki nama dengan ide genuine dan ditulis dengan struktur yang baik yang biasanya lolos di meja redaksi opini Kompas. Tulisan saya pernah diterbitkan Kompas. Namun jauh lebih banyak ditolak oleh dewan redaksi. Biasanya dengan alasan bahwa ide yang saya tulis sudah banyak dibicarakan. Dan Jokowi secara ‘ajaib’ melewati semuanya, ketika tulisannya muncul dengan judul mentereng ‘revolusi mental’. Teka teki itu kemudian terjawab saat Jokowi kepada media kemudian mengakui bahwa adalah benar jika tulisan itu tidak langsung ditulis oleh dirinya, namun dia terlibat langsung dalam proses pembuatan ide tulisannya (Tempo, 11/05/2014).

Walaupun sebagian orang menggangap bahwa adalah tidak etis menulis atas nama diri sendiri namun dengan memakai tim asistensi seperti yang diakui Jokowi, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Andrianof Chaniago, seperti dikuti Tempo pada hari yang sama beranggapan bahwa tidak ada yang salah dalam proses penulisan seperti itu, karena ide tulisan katanya orisinil dari Jokowi.

Tulisan saya ini tidak bermaksud memperpanjang debat tentang etika penulisan opini di surat kabar dengan menggunakan jasa pihak lain, semisal ghost writer, saya mencoba menanggapi dan atau memberikan ulasan pada tulisan yang dianggap sebagai bagian visi misi calon presiden PDIP ini.

Jokowi, on the right track

Terlepas dari siapa yang bekerja membuat itu tulisan, pemikiran yang ditulis atas nama Jokowi itu pantas diappresiasi. Jokowi telah berusaha menjawab keraguan sebagian pihak selama ini yang mengatakan bahwa dia adalah calon presiden yang miskin gagasan. Mereka yang tidak suka dengan Jokowi, kadang menyebut Jokowi dengan sarkastis sebagai pemimpin yang ‘hanya’ bisa blusukan. Sebagian politisi bahkan membullinya dengan plesetan raisopopo, sebagai tandingan jargon yang dia populerkan, akurapopo. Dengan demikian, tulisan itu bermakna penting bagi para pemilih rasional yang lebih tertarik pada isu abstrak seperti program kerja, visi misi, dan manifesto politik.

Sekali lagi, untuk kepentingan pendidikan politik, berkampanye di level wacana ini mutlak diperlukan oleh calon pemimpin. Saya percaya bahwa apa yang kita saksikan dalam kehidupan nyata sesunggunya pertama kali diciptakan di level abstrak dalam bentuk gagasan dan wacana itu. Indonesia yang kita dapati hari ini, dalam batas tertentu, sesungguhnya Indonesia yang digagas dan diperdebatkan bentuknya secara abstrak oleh tokoh-tokoh pemimpin kita di masa lalu, semisal gagasan Sukarno, Hatta, Natsir, Sukarni, BM Diah, dan banyak lagi tokoh lainnya. Karenanya, adalah wajib bagi seorang tokoh yang saat ini diprediksi sebagai salah seorang calon kuat presiden Indonesia ketujuh ini untuk bisa mengartikulasi gagasan Indonesia masa depannya dengan baik kepada publik.

Apalagi kalau dihubungkan dengan tagline Indonesia Hebat yang digunakan oleh PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi saat kampanya pemilihan legislatif yang lalu, tawaran gagasan ini menjadi sangat relevan. Jokowi dan atau PDIP harus mampu mengkomunikasikan tawaran idenya terkait bagaimana kita bisa keluar dari segala carut marut kehidupan sebagai bangsa, baik sebelum orde reformasi maupun setelah menjalani reformasi selamai lebih kurang 16 tahun terakhir. Tentu bukan sembarang ide, kita berharap ada ide baru, segar dan cemerlang sebagai anti tesa yang sudah ada. Sehingga tawaran Indonesia Hebat melalui Jokowi sebagai presidennya bisa meyakinkan publik bahwa kita benar-benar bisa berubah secara revolusioner seperti yang tersirat dalam tulisan Jokowi.

Revolusinya dimana?

Sedikitnya saya dua kali membaca tulisan sang bakal calon presiden ini, mencoba menelusuri wacana yang dia sampaikan. Saya tentu setuju dengan berbagai ketidakberesan atau paradoks pelik yang disebut Jokowi dalam tulisannya itu. Bahwa setelah hidup di alam reformasi dengan empat presiden, dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai bangsa kita masih bergelut dengan persoalan korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sebagainya. Benar bahwa ditengah kemajuan ekonomi dan demokrasi yang kita rasakan, kita masih belum bisa keluar dari beragam permasalah itu.

Adalah benar juga, bahwa reformasi kita barangkali baru sebatas reformasi institusi dan konstitusi, belum sampai pada aspek abstrak semisal identitas, karakter, atau mentalitas. Dan untuk itulah kita memerlukan cara baru yang tidak biasa agar keluar dari masalah itu. Cara baru itu dalam tulisan Jokowi disebut dengan ‘revolusi mental’.


Penggunaan kata revolusi dalam tulisan Jokowi memang ‘eye-catching’ dan seperti menjanjikan sesuatu yang spesial. Karenanya, sekali lagi, secara alamiah saya berharap menemukan tawaran ide yang benar-benar revolusioner dalam tulisan itu. Sayang sekali, saya tidak menemukan apa yang saya cari.

Tawaran revolusi mental Jokowi dalam tulisannya sepertinya hanya mendaur ulang konsep dan wacana lama yang selama ini sudah menjadi pengetahuan umum di masyarakat. Jokowi misalnya mewacanakan kembali aktualisasi konsep Trisaktinya Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 - ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Dalam ideologi dan pemikiran pengikut Sukarno, konsep ini tentu bukanlah hal yang baru (untuk tidak menyebut ‘usang’).

Selain itu, walau tidak disebut dalam tulisan, pada beberapa wawancara dengan media Jokowi juga menyebut bahwa untuk bisa maju, kita juga harus mulai dari perubahan cara berfikir, atau mindset. Saya setuju dengan ini. Tapi sekali lagi, ini sudah banyak dibahas dalam berbagai sesi pelatihan, kelas, dan perkuliahan. Konsep perubahan mindset ini pertama kali populer setelah buku Seven Habits of Highly Effective People karya Steven R. Covey laku manis di pertengahan tahun 1990an. Salah satukutipan Covey yang terkenaladalah”If you want small changes work at your behaviour but If You want quantum leap changes, work at your paradigm.”(Bilaandamenginginkanperubahan yang kecil, garaplahperilakuAnda.NamunbilaAndamenginginkanperubahan yang besardanmendasar,garaplah/ubahlahparadigmaAnda). Dan sayajugamendengarpemikiran yang samabanyakdikutipolehcalonpemimpinlain, selainJokowi.

KembaliketulisanJokowi, dalammenjelaskandarimanakitamemulairevolusi mental, Jokowimenyebutbahwakitabisamemulainyadaridirisendiri, lingkunganterkecilkita, sampailingkungan yang lebihbesar.Konsepinisederhanadanmengandungbanyakkebenaran.Namun, lagi-lagisayatidakmenemukan ide baru yang revolusionerdalamgagasanperubahanJokowi.Kuranglebih, apa yang disampaikanJokowisepertimengulangkonsep 3Mnya AbdudullahGymnastiar – Mulaidaridirisendiri, Mulaidari yang kecil, danMulaiSaatini.


Karenanya,
ijinkan sayabertanya, ide barutentangrevolusimentalnyadimanapakJokowi?

Wallahu’alam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun