Oleh: Afrianto Daud*
Jauh sebelum pilpres 2014, saya pernah membuat postingan di Facebook saya bahwa saya mendukung Anies sebagai calon presiden Indonesia. Dalam beberapa hal saya menyukai dirinya. Tentang jiwa aktivismenya, tentang gagasan dan impiannya megenai Indonesia masa depan. Saya secara khusus menyukai pemikirannya tentang membangun Indonesia melalui pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Berbagai gagasannya diartikulasikannya dengan sangat baik.
Dukungan saya untuk pendiri Gerakan Indonesia Mengajar ini sebagai capres tentu tak jelas ceritanya kemudian. Menyusul kekalahannya pada konvensi Partai Demokrat. Dia tak mungkin maju sebagai calon independen, karena konstitusi tidak memungkinkannya.
Saya bisa memahami kemudian jika dia mencari jalannya sendiri - mendukung salah satu capres yang ada. Sebagai politisi, tentu Anies sudah siapkan berbagai skenario baktinya untuk republik ini. Dia akhirnya memilih berlabuh dengan barisan Jokowi-JK. Saya sendiri memilih mendukung Prabowo-Hatta. Walau saya tahu, kedua pasang ini sebenarnya 11-12 saja.
Harus saya sampaikan bahwa Jokowi-JK beruntung sangat dengan masuknya Anies pada ring 1 Tim Pemenangan Jokowi-JK. Kemampuan artikulasinya yang sangat baik dengan cerdik dimanfaatkan Tim Jokowi yang menjadikannya sebagai juru bicara. Debatnya dengan Prof Mahfudz (jubir Prabowo-Hatta) pada suatu malam di Metro TV waktu itu seperti telah menyihir banyak kalangan menengah terdidik untuk semakin yakin mendukung Jokowi sebagai presiden.
Wajar jika kemudian akhirnya saat Jokowi memenangkan pilpres, Anies diberi kepercayaan mengurus satu kementerian sangat strategis - Kemendiknas. Walau hanya 20 bulan. Karena satu alasan yang tak banyak diketahui publik, kemudian dia dipecat Jokowi. Analisa pemecatan ini banyak dan panjang. Saya tak akan bahas di sini.
Racun 'Orang Baik Pilih Orang Baik'
Walaupun saya menghormati pilihan Anies ketika pilpres dulu, catatan saya paling berat untuk Anies adalah saat dia menggunakan jargon 'Orang baik, Pilih orang Baik' untuk mendukung Jokowi waktu itu. Inilah sesungguhnya racun berbahaya yang merasuki otak jutaan orang setelah itu. Racun yang kemudian membelah pilihan menjadi binary opposition, hitam putih, salah benar, surga neraka.
Akibat racun itu, banyak para Jokowers yang sadar atau tidak beranggapan bahwa mendukung Jokowi adalah seakan mendukung para kelompok putih, orang-orang setengah malaikat yang siap 'berjihad' membangun Indonesia. Sementara kubu sebelah adalah kelompok jahat, para bandit, koruptor, para penjual agama, dan bayangan buruk lainnya.
Saya katakan bahwa cara berfikir binary inilah yang kemudian membuat pilpres pada waktu itu menjadi sangat panas. Banyak orang yang sakit jiwa, bahkan sampai saat ini. Doktrin orang baik itu jugalah yang membuat banyak pendukung Jokowi seakan tak percaya menerima kenyataan ketika secara mengejutkan Anies diumumkan sebagai calon gubernur yang diusung Gerindra dan PKS - kelompok yang mereka persepsi sebagai 'kelompok jahat'. Mereka pusing. Padahal seharusnya politik itu sungguh dinamis dan lentur. Sebagiamana lenturnya sikap Ahok yang berubah dari waktu ke waktu.
Jangan Diulang Lagi!