Mohon tunggu...
Afrianto Daud
Afrianto Daud Mohon Tunggu... -

penikmat buku, pendidik, pembelajar, dan pemulung hikmah yang terserak di setiap jengkal kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Serakan Logika Ahokers

3 Agustus 2016   11:21 Diperbarui: 3 Agustus 2016   11:28 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ehem..!
Saya mengerti bahwa pagi itu adalah waktu yang produktif untuk bekerja, karenanya akan lebih baik digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat, ketimbang hanya sekedar update status di media sosial. Namun, postingan dari beberapa pendukung Ahok di lini masa saya memancing saya untuk menulis ini. Tentang serakan logika mereka yang sepertinya butuh 'logika pendamping’. Maka, biarlah saya menulis tentang topik yang antara penting dan tidak penting ini. :-) 

Tentang Ahok sendiri sebenarnya bagi saya sudah 'selesai'. Bahwa dia adalah memang seorang politisi asli dari sononya. 11-12 dengan kabanyakan politisi lainnya. Karenanya saya tidak begitu terkejut ketika dia loncat sana sini, dari satu parpol ke parpol lain untuk mencapai ambisi kekuasaannya, sampai dia kemudian menjadi penguasa Jakarta seperti sekarang. Tentang ideologi partai dan etika politik, bagi sebagian besar politisi memang bukanlah nomor satu. Termasuk ketika dia dengan gagah menyatakan keluar dari Gerindra, partai yang berjasa besar membuat dia seperti sekarang. Saya juga tak ambil pusing ketika Ahok akhirnya memutuskan maju melalui parpol, setelah sebelumnya berkoar-koar, menghentak jagat raya politik Indonesia bahwa dia akan maju lewat jalur independen. Wow, gagah sekali!  

Yang membuat saya tak kuat untuk tidak berkomentar adalah tentang propaganda dan juga pembentukan opini yang cukup masif oleh pendukungnya di media sosial. Dulu, saat Ahok sesumbar akan maju lewat jalur independen, saya perhatikan para Ahokers garis keras ini membuli partai politik sedemikian rupa. Bahwa parpol yang buruk itu tak layak dijadikan mesin politik Ahok yang bersih untuk maju kembali sebagai gubernur. Saking masifnya kebencian yang mereka tebar pada eksistensi partai politik, sampai-sampai petinggi PDIP seperti tersinggung, dan kemudian membuat pernyataan bahwa ada gerakan deparpolisasi. Istilah yang sempat menjadi panas dan ‘pergunjingan’ di pentas politik nasional.  

Yang bikin ‘galingaman’ adalah ketika kini Ahok seperti mengalami amnesia – lupa dengan kegagahannya dulu untuk tidak memakai jalur parpol. Bagaimana dengan teman-teman Ahok yang keren dulu? Yang menjadi pejuang, relawan, apapun namannya, yang berburu KTP ke sudut-sudut mall di Jakarta? Yang berteriak bahwa parpol sudah tak bisa dipercaya? Bahwa para politisi itu bandit semua? Apakah mereka berani menuntut Ahok dan berteriak kencang mengingatkan janji dan komitmen tentang jalur independen? Kebanyakan mereka diam, bahkan ikut mendukung keputusan Ahok. Sampai di sini, perlukah kita tanya, logikanya ada dimana?

Saat ini, propaganda yang sedang beredar adalah usaha para Ahokers untuk menghambat tokoh lain, seperti Bu Risma, bertarung di Jakarta. Sebenarnya kemungkinan Risma ke Jakarta itu juga baru isu. Namun, usaha untuk membunuhnya sudah dimulai. Logika yang mereka sebar adalah bahwa Ahok merupakan tokoh paling hebat dan paling bersih di Jakarta yang akan membawa perubahan dahsyat di Jakarta. Sementara tokoh lain, semisal bu Risma adalah tokoh yang juga hebat, tetapi untuk Surabaya saja. Hal yang sama dulu mereka hembuskan saat kang Emil diwacanakan untuk maju dalam pilkada DKI. Propaganda dan perang opini yang kemudian berhasil menyurutkan niat Kang Emil.

Benarkah hanya Ahok yang pantas untuk Jakarta? Apa iya tak ada lagi tokoh yang layak dipercaya dari dua ratusan juta rakyat Indonesia selalin Ahok? Debat dan diskusinya bisa panjang. Yang sulit diterima adalah usaha untuk menghalang-halangi tokoh lain ikut maju ke Jakarta. Bukankah jika propaganda yang sama itu dilakukan empat atau lima tahun dulu, maka tak akan ada sejarah Jokowi dan Ahok di Jakarta? Karena kedua mereka sama-sama berasal dari daerah (Ahok di Belitung dan Jokowi di Solo). 

Para Ahokers mungkin akan bilang, “Oh itu beda. Karena Jokowi kan waktu itu bagus, sementara Jakarta butuh orang-orang baik.” Nah, bagaimana kalau pendukung Risma juga memakai logika yang sama. Risma adalah juga orang baik yang juga dibutuhkan Jakarta saat ini. Siapa tahu Risma bisa menjadi presiden perempuan kedua setelah Megawati, pengganti pak Jokowi :D.  

Saya tak akan ikut memilih di Jakarta. Tapi, ijinkan saya mengingatkan bahwa biarkan semua kemungkinan terjadi di Jakarta. Termasuk kemungkinan bertarungnya putra-putri terbaik di ibu kota Jakarta itu. Jangan khawatirkan Surabaya, Bandung, dan sebagainya. Saya yakin, masih banyak orang hebat lainnya yang akan meneruskan kepemimpinan di sana. Jangan sampai ada opini yang meracuni alam bawah sadar kita bahwa pemimpin yang hebat itu terhenti hanya di tiga nama – Ahok, Emil, dan Risma. Mungkinkah pemimpin yang hebat hanya terbatas di tiga orang ini? Bagaimana mungkin!  

Jika sebuah kompetisi politik di ibukota bisa diikuti orang-orang hebat, tentu hasilnya adalah kita akan memperoleh ‘best of the best’. Jika akhirnya Ahok keluar sebagai pemenang, orang yang paling dipercaya. Itu tentu bagus bagi pendukung Ahok. Selain legitimasi Ahok semakin kuat, hasil pilgub Jakarta mendatang bisa juga dijadikan poin tambah untuk mengusung Ahok sebagai alternatif calon presiden mendatang. Isn’t it fair enough? ;-)

Demikian!

Salaam :-)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun