Ketika menikah adalah keputusan yang diambil bersama. Dan saat berpisah pun sebaiknya adalah keputusan yang diambil dan disadari bersama pula.Â
Memang butuh waktu membalut luka. Namun berlarut dalam duka dan amarah bukan solusi untuk menghadapi hidup di masa depan. Menerima emosi seiring waktu bisa juga dilakukan. Tapi harus diingat bahwa ada anak - anak yang seringkali tidak bisa menunggu. Anak - anak terus bertumbuh dan melihat apa yang ada di sekelilingnya termasuk melihat hubungan ayah dan ibunya. Mereka mungkin tidak mengerti tentang keputusan perpisahan. Meskipun demikian mereka pasti bisa merasakan apa yang orang tuanya rasakan.
Saya menemukan cerita nyata dari beberapa teman. Bagaiman anak - anak terhubung secara batin dengan orang tua mereka. Ketika orang tua merasa marah, sedih dan terluka, maka anak - anak pun menjadi gelisah. Beberapa menangis, mudah tantrum dan sulit tersenyum.
Ketika saya berpisah dengan mantan suami, emosi dalam diri saya bahkan menghambat tumbuh kembang anak saya. Di usia dua setengah tahun, ketika akhirnya saya bisa memaafkan perpisahan kami barulah anak saya mulai berjalan.
Dari proses menyakitkan sebuah perpisahan jalan terbaik untuk menerimanya adalah dengan memaafkan . Memaafkan diri sendiri dan juga mantan pasangan. Seringkali ketika seorang mengambil jalan perpisahan yang muncul adalah rasa bersalah. Lalu muncul pertanyaan,
Mengapa aku tidak bertahan demi anak - anak?
Mengapa aku tidak bisa mempertahankan pernikahan?
Apa salahku sampai ini terjadi?
Kenapa dia tega mengkhianati aku?
Ini salah siapa?