"Saya terima nikah dan kawinnya fulana bin fulan dengan mas kawin ... tunai!"
Inilah salah satu kalimat dalam prosesi pernikahan yang merupakan awal peralihan tanggung jawab. Dari seorang anak perempuan menjadi wanita dewasa.Â
Dari tanggung jawab ayahnya menjadi tanggung jawab suaminya. Setelah kalimat ini maka deretan doa dipanjatkan dan diaminkan. Doa untuk hidup bahagia bersama selamanya.
Namun pergerakan hidup bukannya seperti tetesan embun yang rasanya selalu sejuk dengan butiran lembut.Â
Hidup bagaikan ombak di lautan. Seringkali lembut gemulai menenangkan namun hembusan angin tidak jarang membuatnya menjadi riak yang menghempas dan menghancurkan.
Terlepas dari banyaknya sebab dan alasan, namun akhirnya banyak pernikahan yang berakhir di meja pengadilan agama.Â
Ya, perceraian dan perpisahan. Keputusan besar yang diambil untuk kemudian membawa seorang wanita pada tahapan berikutnya. Beberapa mungkin akan kembali ke rumah orang tuanya dan kembali menjadi tanggung jawab sang ayah.Â
Namun tidak jarang perceraian terjadi saat usia pernikahan telah terlalu panjang. Seorang wanita bisa saja kembali ke rumah orang tuanya namun tidak dengan tanggung jawabnya.
Tanggung jawab sebagai akibat dari perceraian sebenarnya adalah milik seorang yang secara sadar mengambil keputusan untuk berpisah. Dalam banyak kasus saya melihat setelah perpisahan banyak suami yang kemudian melepaskan tanggung jawabnya. Bukan hanya tanggung jawab terhadap mantan istri namun juga tanggung jawab akan anak -anak hasil pernikahan. Bukan semata tanggung jawab akan uang namun tanggung jawab lain yang lebih tidak terukur nilainya. Pendidikan dan kasih sayang.
Secara ideal seharusnya meskipun perceraian menjadi pilihan namun anak - anak berhak secara utuh memiliki sosok ayah dan ibu. Dari figur ayah dan ibu inilah anak akan mendapatkan role mode sosok untuk masa depan mereka. Namun tidak jarang seorang ayah yang memilih perceraian kemudian melepaskan tanggung jawab.Â
Tanggung jawab untuk memberikan figur ayah, maka disinilah seorang wanita diharapkan bisa mengambil alih posisi itu dengan segera.
Tentu tidak mudah tugas besar dilakukan dalam waktu bersamaan. Seorang wanita pasca perceraian diharapkan bisa :
Menerima perceraian dan berdamai dengan diri sendiri
Mengobati luka karena sebab perceraian
Memberikan pengertian pada anak - anak
Menyiapkan anak untuk menerima perceraian
Mengambil peran ayah dalam memberikan pendidikan bagi anak - anaknya
Perlu waktu yang tidak sebentar dan seringkali menguras emosi. Namun seorang wanita sebaiknya menyadari bahwa menyelamatkan kesehatan mental anak salah satu peran dan prioritas yang harus dilakukannya dengan segera.Â
Segera mengerti bahwa dirinya bukan lagi tanggung jawab mantan seorang pria. Dan tanggung jawab lain menanti yaitu anak - anak. Namun jika seorang wanita merasa dirinya tidak mampu, maka sebaiknya tidak segan untuk meminta pertolongan. Mendapatkan dukungan dan pelukan dari sekitar yang dapat dia percaya dan nyaman.Â
Lingkungan, keluarga, teman, komunitas dan profesional kejiwaan berperan penting untuk membuat wanita pasca perceraian dapat segera bangkit dari keterpurukannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!