Mohon tunggu...
Afriana Jenita
Afriana Jenita Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Recehan

Seorang gadis kecil dari keluarga sederhana, Bergelut dengan banyak luka yang tak biasa. Ia suka membaca, menulis,mendengarkan musik dan suka jalan-jalan. Baginya Menulis tidak hanya menyenangkan tapi bisa menyembuhkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pagal Dengan Musim Gugurnya

13 Juni 2024   10:57 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:50 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kisah dari seorang Teman) 

Musim yang tidak pernah dirindukan sebagian orang adalah musim keguguran tapi ini bukan tentang musim untuk bumi

Kala jemari lelah menulis yang ada hanya tetesan air mata perihal kepergian yang tidak pernah menemukan jalan pulang dan itu adalah kematian. Sontak tubuh menjadi tak berdaya kala di tahun yang berbeda kedua sosok yang berarti pergi tidak meninggalkan pesan apa pun hanya sebuah kesedihan tanpa tahu kapan akan berakhir.

Kala itu Ibu pergi duluan mengahadap Sang Pencipta. Ibu mungkin ingin agar aku tak meninggalkan ayah sendirian begitu pula dengan ayah. Dengan air mata yang tak habis Ibu menghabiskan sisa napas pada pelukan kekasihnya itu dan hari demi hari kami menghabiskan waktu dengan air mata apalagi saat moment penting  seperti hari Natal, tahun baru juga hari ulang tahun Ibu. Berusaha untuk tetap tegar adalah hal yang susah untuk dilakukan.

Hari demi hari rasanya asing dan berbeda tanpa tahu arah sepertinya sudah kehilangan harapan.
Cobaan kedua datang, ayah tiba-tiba tumbang akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Saat itu aku masih berada di bangku kuliah semester akhir. Bergelut dengan Skripsi juga berperang melawan keadaan agar tetap kuat. Siang bimbingan malam harus menjaga ayah di rumah sakit. Setelah beberapa hari Dengan hati yang berat melepas kepergian ayah, dipeluk erat dengan penuh cinta oleh orang-orang terdekat ayah bilang "Ibu menjemput karena kesepian" entah itu benar atau tidak aku tidak paham.

Jenazah ayah dibawah pulang, Kali ini rumah kembali ramai dengan tangisan  bukan pesta Natal dan Tahun baru atau perayaan Paskah. Ayah terbaring kaku di dalam petih wajahnya pucat dan akun terus meratap  disampingnya. Beberapa orang datang memberi penguatan ada teman-teman yang datang dengan raut wajah yang tidak lagi sama seperti saat kami tertawa bersama.

Misa pemberkatan ayah berjalan dengan haru penuh deru rasanya berbagai macam benda tajam menusuk seisi tubuhku. Aku tak berdaya dengan kondisi ini. Ayah pergi menjumpai kekasihnya Ibu dan meninggalkan aku buah cinta mereka sendirian. Rumah kembali sepi tanpa suara ayah dan Ibu....

Dan aku menyelesaikan perkuliahan dengan air mata tidak peduli beberapa peluk yang kudapat untuk menguatkan tapi ternyata masih saja sama, dingin seperti cuaca dan gugur seperti musim berantakan tak karuan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun