Lantai mengkilat berwajahkan polos putih menemaniku di malam yang gemerlap bintang saat ini. Sebenarnya dia yang seharusnya datang tapi diwajahnya terdapat bintik-bintik merah memucat. Aku tak mengerti mengapa harus aku yang menggantikannya. Dia mungkin mengira aku ini pasukan lapis kedua yang siap sedia bila pasukan pertama gagal di medan tempur.
Tugasku memang hanya sebatas membalikkan telapak tangan. Selayaknya manusia biasa aku merasa belum menguasai dengan benar pekerjaan ini. Pekerjaan yang selalu bergelut dengan air, alat makan, dan wastafel. Ya.. memang aku menggantikannya sebagai buruh cuci disuatu tempat yang sebenarnya sangat tak kusenangi. Sungguh kafe ini menyajikan semua yang berbau.... aarrggh... berbau kemaksiatan. Barangkali disini tempat yang selama ini belum kusinggahi di dunia ini. Barangkali ini merupakan tempat bermuaranya para pemain-pemain kemaksiatan. Meskipun aku tidak menyukainya, namun demi dia kukan melakukan segalanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H