Mohon tunggu...
Afriadi Putra
Afriadi Putra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang Mahasiswa yang sangat tertarik dalam dunia tulis-menulis. Sedang menjalani study di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok, DPRD dan “Anggaran Siluman” DKI Jakarta

3 April 2015   10:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:36 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kisruh mengenai penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta yang terjadi saat ini sangat menyita perhatian publik. Hingga awal Maret APBD DKI Jakarta belum disahkan karena adanya perselisihan antara pihak eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (DPRD) tentang penetapan anggaran untuk tahun 2015. Perselisihan ini berawal dari lamanya proses pembahasan DPRD tentang Kebijakan Umum Anggaran/Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS) yang telah diajukan oleh Pemerintah untuk menjadi acuan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) untuk kemudian disahkan menjadi APBD DKI Jakarta tahun 2015.

Setelah dilakukan revisi dan pembahasan, barulah DPRD mensahkan anggaran senilai Rp. 73,08 triliun. Namun sebelum itu, Gubernur DKI Jakarta mengumumkan temuan "anggaran siluman" lebih kurang sebesar Rp. 12 triliun yang diselipkan lewat beberapa program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pemerintah dalam hal ini Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” menuding DPRD memasukkan “anggaran siluman” yang tidak diusulkan oleh SKPD untuk disahkan menjadi APBD tahun ini.

Ahok vs DPRD

Ahok menilai anggaran siluman yang ada di dalam RAPBD tidak pantas diajukan ke Kemendagri, sehingga Ahok memilih mengajukan anggaran yang disusun oleh Pemerintah dengan menggunakan sistem e-budgeting.

Sistem Pengelolaan anggaran yang ketat secara elektronik atau electronic budgeting(e-budgeting) menurut Ahok dapat menghindari penyelewengan anggaran dan munculnya anggaran yang sudah dicoret tahun sebelumnya. Disamping itu, sistem ini melibatkan beberapa pihak seperti; SKPD, Tim Peneliti, Tim Data, Bappeko, Legislatif dan Administrator, sehingga tidak ada oknum yang bermain dengan anggaran karena adanya pengawasan antara pihak satu dengan yang lainnya.

Disisi lain, sistem e-budgeting bukan tanpa kelemahan karena pihak legislatif menganggap sistem ini bukan produk hukum, meskipun ada aturan tentang sistem pengelolaan infomasi daerah pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi acuan Pemerintah dalam pembuatan dan penerapan sistem ini.

Perbedaan pandangan tentang pengajuan dan penetapan anggaran di atas memunculkan hak angket yang dikeluarkan oleh DPRD. Hak angket merupakan hak yang dimiliki oleh legislatif untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yangbertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Langkah ini diambil karena DPRD DKI Jakarta menilai Ahok telah melanggar hukum dan memalsukan dokumen negara dengan mengajukan anggaran versi e-budgeting, bukan anggaran yang telah dibahas oleh DPRD. Imbasnya, sampai saat ini APBD tahun 2015 belum disahkan karena Kemendagri menganggap pengajuan oleh Pemerintah DKI Jakarta tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundangan.

Terbuka dan Mengutamakan Kepentingan Rakyat

Kisruh yang terjadi antara Pemerintah dan DPRD DKI Jakarta tersebut tentu sangat merugikan masyarakat Jakarta. Dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, hanya DKI Jakarta yang belum menetapkan APBD tahun 2015. Sebetulnya hal ini bisa dihindari jika kedua belah pihak saling terbuka dan menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing. DPRD sebagai pihak legislatif bertugas membahas dan menetapkan anggaran yang diajukan oleh Pemerintah. Sedangkan Permerintah berkewajiban mengajukan anggaran sesuai kebutuhan di setiap SKPD dan telah dibahas dan disahkan melalui DPRD, bukan RAPBD versi sendiri-sendiri.

Jika kedua pihak merasa mereka paling benar, maka tidak akan ada titik temu. Tentu keadaan ini masyarakat Jakarta yang jadi korban. Seharusnya DPRD dan Pemerintah mengacu kepada kepentingan rakyat dalam menyusun anggaran dan mempertimbangkan skala prioritas. Jika memang ada anggaran yang tidak pantas dimasukkan, maka harus ditinjau kembali dan dievaluasi. Langkah yang telah dilakukan oleh Kemendagri merupakan tindakan positif dalam upaya me-mediasi ketegangan yang sedang terjadi.

Bagaimanapun, setiap jabatan publik memiliki aturan dan etikanya masing-masing, jika itu dilanggar maka akan berakibat sanksi. Gubernur dan DPRD harus ingat, mereka dipilih oleh rakyat, maka seharusnyalah mereka berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan merasa paling benar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun