Asap rokok dulu pernah menjadi hal terlarang di kawasan publik di Jakarta. Namun, kini benda terlarang itu beterbangan di langit Jakarta seenaknya. Tentu ada beberapa faktor penyebab pembiaran aktivitas ini. Dinamisnya pergerakan asap ini ibarat dinamisnya politik di Indonesia. Semakin banyak produk undang-undang yang disahkan seolah semakin banyak pula terjadi pelanggaran di sana-sini. Beberapa tempat yang saya datangi seperti menghalalkan merokok di tempat tersebut. Salah satunya di kawasan ITC yang berada di sekitar Cempaka Putih. Pegawai toko laki-laki sering menghisap rokok di depan toko tempat ia berjualan. Hal ini juga sering dilakukan di tiap lantai padahal tentu ada larangan merokok di area ber-AC ataupun tempat umum. Selain itu, orang-orang yang merokok di kendaraan umum sungguh mengabaikan kenyamanan dan kesehatan penumpang lain yang juga hanya membayar Rp3.000. Terkadang ingin bilang, “Pak, cuma bayar ongkos Rp3.000 kan? nggak usah nge-rokok. Yang lain di sini juga bayar Rp3.000!” Pengabaian Pergub yang berlandas dari Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2005 ini berakibat fatal bagi sisi moral dan kesehatan masyarakat.
Akibat fatal dalam hal moral ini adalah sikap apatis yang ditunjukkan oleh perokok ketika merokok di tempat umum. Selain itu, hal yang saya cermati dari pengabaian Pergub No. 75 tahun 2005 tentang kawasan larangan merokok antara lain kurangnya kesadaran masyarakat tentang merugikannya aktivitas merokok. Perhatikanlah kondisi lingkungan di sekitar kita ketika pagi hari. Orang berdasi, berkemeja, berjas, berkaus lusuh, bercelana panjang hitam, denim, abu-abu, biru gelap, hingga bercelana merah seolah sedang mengikuti perlombaan menghisap seluruh racun dalam rokok. Rokok menjadi sarapan pagi sebagian warga Jakarta. Mungkin harga sepotong roti terlalu mahal lagi pula roti tidak memberikan efek apa pun di perut mereka. Apakah mereka tidak sadar apa yang sedang terjadi oleh tubuhnya ketika mereka menghisap racun-racun laknat tersebut? Saya beberapa kali sempat memberi tahu siswa saya bahwa manusia itu harusnya bersyukur karena Allah menciptakan tubuh kita dengan kulit dan daging yang tidak transparan. Bayangkan kalau terjadi demikian, tentu semua orang merasa ngeri dengan efek makanan, minuman, dan zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh.
Hal kedua yang menjadi penyebab terabaikannya Pergub tersebut yaitu ketidakkonsistenan pemerintah dalam mengatasi rokok. Keuntungan penjualan rokok dinilai menguntungkan pemerintah pusat sehingga keberadaan rokok dianggap menjadi salah satu sumber pendapatan. Bila memang itu kenyataannya, apakah harus menyelamatkan Negara dengan cara mematikan rakyatnya? Lalu untuk siapa Negara itu dibangun? Penerapan penjualan rokok di mini market sudah terdapat imbauan untuk tidak menjual kepada anak berseragam sekolah dan ibu hamil. Selanjutnya, bagaimana kondisi penjualan di warung-warung pinggir jalan? Justru warung pinggir jalan yang paling dekat dengan masyarakat dan “ramah” dengan kantong kalangan menengah ke bawah. Mudahnya transaksi jual-beli rokok menjadi langkah awal terabaikannya aturan larangan merokok di tempat umum.
Indonesia khususnya Jakarta dikepung rokok mulai dari pejabat tinggi hingga rakyat berekonomi kelas bawah. Bahkan, pengemis pun masih menyempatkan diri untuk merokok. Apakah pemerintah tidak tergerak untuk menyelamatkan rakyatnya dari penjajahan oleh rokok? Padahal dampak rokok tak kalah berbahaya dengan narkoba. Apabila narkoba berdampak pada pemakainya secara individu, rokok memberi dampak negatif bagi orang-orang di sekitar perokok yang sedang menghisap rokok tersebut. Dengan tingkat pendidikan rakyatnya yang berbeda-beda, maka diperlukan tindakan preventif dan represif terhadap gejala berkembangnya rokok. Mungkinkah penerapan status terhadap narkoba disamakan dengan status rokok? Rokok ini sudah menjelajah hingga tubuh anak setingkat sekolah dasar, tetapi penerapan status rokok yang lambat laun mematikan perokok masih disepelekan. Keterasingan Pergub ini pun membuat kaum perokok semakin bebas meniupkan asapnya hingga menyengat ke paru-paru orang yang tidak merokok.
Pergub No. 75 Tahun 2005 Pasal 3 menjelaskan bahwa sasaran kawasan dilarang merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Namun, semakin lama peringatan melalui pergub tersebut dilenyapkan oleh massa. Mereka berbondong-bondong melanggar peraturan tersebut seperti ingin mengingkari hukum yang berlaku. Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa pengemudi dan/atau kondektur wajib melarang kepada penumpang untuk tidak merokok di dalam kendaraannya. Dilanjutkan pada ayat (2) bahwa pengemudi dan/atau kondektur wajib menegur dan/atau memperingatkan dan/atau mengambil tindakan dengan menurunkan penumpang di tempat pemberhentian terdekat yang terbukti merokok di dalam kendaraannya. Akan tetapi, justru kini oknum supir dan kondektur yang menjadi pemicu penumpang ikut merokok. Lagi pula, jika penumpang merokok pun lebih banyak supir dan kondektur yang bungkam.
Sebenarnya warga Jakarta masih bisa bernapas lega bebas rokok dengan pasal selanjutnya. Pasal 13 ayat (3) berisi penumpang dapat memberikan teguran atau melaporkan kepada pengemudi dan/atau kondektur dan/atau aparat Dinas Perhubunganapabila ada yang merokok di dalam kendaraannya yang ditumpangi. Selanjutnya, bagaimana jika supir atau kondektur yang merokok? Dalam pasal yang sama di ayat (4) penumpang dapat melaporkan kepada aparat Dinas Perhubungan apabila pengemudi dan/atau kondekturnya merokok di dalam kendaraan di dalam angkutan umum yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, kenyataan sungguh berbalik dari keadaan ideal. Beberapa oknum petugas yang sedang istirahat atau sekadar duduk-duduk sambil berjaga justru tertangkap basah sedang merokok bersama warga lain di sekitarnya. Lalu, kepada siapa semua ini diadukan?
Uniknya, ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh korban para perokok untuk meminimalisasi asap rokok yang menyeruak dengan liarnya. Salah satu tindakan itu adalah membeli masker penutup mulut. Fungsi masker ini awalnya untuk melindungi pemakainya dari virus ataupun debu. Sekarang masker ini dapat juga dipakai untuk melindungi hidung dari asap rokok. Namun, keberadaan masker ini bukanlah pengganti kertas-kertas Pergub yang telah disahkan untuk melindungi kesehatan masyarakat apalagi untuk mencegah perokok pemula seperti tujuan dibuatnya Pergub tersebut. Selain itu, masyarakat sebenarnya dapat memilih kendaraan yang digunakan untuk melindunginya dari asap rokok misalnya menggunakan Transjakarta ataupun kereta api ber-AC yang sudah lebih baik sistem penerapan aturannya. Hanya saja tidak semua area dapat dijangkau oleh Transjakarta dan kereta api ber-AC. Dilema warga Jakarta semakin menjadi tatkala dihadapkan dengan prosedur penggunaan e-card dalam memasuki halte Transjakarta.
Saya mengharapkan ketegasan seluruh pihak yang berwenang dalam menerapkan setiap peraturan yang berlaku di masyarakat agar terjaga ketertiban lingkungan. Masyarakat harus diajarkan tentang pentingnya hidup disiplin dan teratur agar tidak merasa kebal terhadap hukum. Tingkat pelanggaran larangan merokok di beberapa tempat seperti lingkungan Pemprov DKI Jakarta memang menurun, tetapi tetap harus diawasi pelaksanaannya di tempat-tempat umum. Dalam salah satu program televisi yang bekerja sama dengan pihak kepolisian ditemukan banyak pelanggaran lalu lintas, tetapi tidak ada teguran atau hukuman terhadap aktivitas merokok yang dilakukan oleh oknum yang ditindak tersebut. Perokok di setiap jengkal tanah memang ada, maka pengawasannya pun harus dilakukan bersama dan hukum pun harus ditegakkan secara transparan dan adil. Semoga Pergub tentang kawasan larangan merokok ini tidak usang ditelan zaman. Ibaratnya sebuah kertas yang diletakkan di dalam laci telah banyak sarang laba-laba saking sudah lamanya tidak diterapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H