PERBURUAN TERAKHIR
Cerpen: Afri Meldam
Rusa betina itu terdesak ke dinding tebing. Tak ada lagi tempat baginya untuk lari. Sorak-sorai terdengar memenuhi hutan. Anjing-anjing menyalak keras. Para pemburu sudah siap dengan senjata masing-masing, mengantisipasi kemungkinan kalau-kalau rusa itu nekat berbalik ke arah mereka. Sementara itu, seorang penembak jitu sudah mengokang senapan, siap memuntahkan peluru terbaik yang sudah dilumuri balsem ke arah binatang buruan.
Mendadak, langit berubah kelam. Awan tebal bergumpal-gumpal menjadi selimut yang menutupi matahari. Angin seolah berhenti. Suara-suara hilang. Dan, saat itulah, samar-samar, para pemburu mendengar suara entah apa dari dekat tebing tempat rusa itu terjebak, berbisik halus ke telinga mereka. Jangan bunuh rusa itu. Dia sedang mengandung anaknya yang pertama.
Sontak, para pemburu kaget bukan main. Siapa yang membisikkan kata-kata itu? Rusa itu tak mungkin bisa berbicara. Atau apakah ia rusa keramat? Tak mungkin! Rusa itu hanyalah rusa biasa, mereka semua tahu itu. Kalau ia rusa keramat, kenapa pula ia mau bersusah-payah menghindar dari serbuan para pemburu sejak dua hari yang lalu. Kenapa ia tak menunjukkan kesaktiannya saat mereka mengejarnya tadi. Kalau ia rusa keramat, ia tentu bisa saja berubah wujud jadi harimau atau malah menjadi sebongkah batu atau kayu. Tapi ia tidak.
“Tunggu apa agi, Bujang! Ayo tembak!” Seseorang, agaknya pemimpin di antara para pemburu itu, memberi perintah kepada sang penembak.
“Apa Angku tidak mendengar suara itu?” Tanya salah seorang dari mereka, memberikan diri untuk bertanya pada sang pimpinan.
Yang ditanya mencibir. “Jangan sampai tertipu oleh apa yang kalian dengar! Itu bisa saja bisikan dari jin penghuni hutan, yang tak perlu kalian dengar. Jin yang mungkin ingin membuat kita marah karena perburuan ini tak membuahkan hasil apa-apa, lalu kita mengeluarkan sumpah serapah kepada Tuhan yang tidak memberikan rezki. Jangan sampai terkecoh!” kata-katanya menggema di dinding-dinding karang di sekitar situ.
Para pemburu yang lain tak bisa membantah lagi. Mereka percaya belaka pada Angku Kotik pimpinan mereka itu.
“Ayo tembak sekarang!” perintahnya sekali lagi, kali ini jauh lebih keras.
Rusa itu terdiam dalam kepasrahannya. Ia menatap para pemburu dengan tajam. Matanya memerah, dan di sudut mata itu mereka bisa melihat dengan jelas butiran air mata mulai berjatuhan. Rusa itu seolah memohon belas kasihan mereka untuk tidak membunuhnya.
Jangan bunuh rusa itu. Dia sedang mengandung anaknya yang pertama. Kembali mereka mendengar suara itu berbisik halus ke telinga masing-masing. Tak ada yang bisa menyembunyikanketerkejutan mereka. Suara itu terdengar begitu jelas. Setiap kata yang dibisikkan ke telinga mereka seolah disaring oleh alat entah apa, sehingga semuanya terdengar begitu jernih.
Tapi tak ada lagi ampunan. Perburuan ini sudah menguras tenaga mereka selama dua hari belakangan. Dan, mereka tentu tak ingin semuanya berujung sia-sia. Rusa betina ini harus bisa mereka sembelih petang itu juga! Harus.
Lalu terdengar tembakan. Rusa betina yang sedang bunting itu ambruk ke tanah. Darah mengucur deras dari sudut atas lehernya. Ia menggelapar kesakitan. Anjing-anjing menyalak dengan garang. Segera, Angku Kotik menghunus parang dari sarungnya. Dengan sekali gerakan memutar, urat leher rusa itu pun putus; menyemburkan darah segar yang membasahi daun-daun dan tangan Angku Kotik.
Sepersekian detik kemudian, rusa betina itu sudah tak mampu menggerakkan satu pun otot tubuhnya. Angku Kotik memerintahkan anak buahnya untuk segera mengeluarkan pisau, dan mulai menguliti binatang buruan itu.
Segera saja, semua pemburu itu larut dalam pekerjaan menguliti rusa yang baru mereka dapat. Hanya dibutuhkan waktu beberapa menit bagi tujuh orang laki-laki itu untuk mengelupasi kulit rusa betina itu; hingga menyisakan daging yang memerah menguarkan aroma amis.
Begitu semua kulit terlepas, Angku Kotik meminta anak buahnya untuk mengatur posisi sang rusa sedemikian rupa sehingga pisaunya bisa dengan leluasa menyayat belahan perut buncit binatang itu.
Tapi, tiba-tiba sesuatu seolah bergerak di dalam perut rusa betina itu. Angku Kotik hampir saja terlonjak saking terkejutnya menyaksikan perut yang sudah dikuliti itu menggeliat.
“Anaknya masih hidup!” Entah siapa yang meneriakkan kata-kata itu, yang lalu diiyakan oleh semua pemburu yang lain.
“Kita harus menyelamatkan anaknya!”
“Iya, jangan sampai anaknya mati!”
Angku Kotik tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa ini jelas kejadian langka. Sebagai seorang pemburu yang sudah hampir lebih dari separoh umurnya ia habiskan mengejar binatang buruan, ia sudah puluhan kali menemukan rusa bunting. Dan, ia tahu betul kalau usia kandungan rusa yang kini mereka dapatkan itu masih sangat muda. Bagaimana mungkin anaknya sudah bisa menggeliat seperti itu? Lagipula, ketika sang induk disembelih, anak di perutnya tentu ikut mati.
Apa yang terjadi sebenarnya? Angku Kotik bertanya-tanya. Apakah benar rusa ini rusa keramat? Ah, tak mungkin! Angku Kotik cepat-cepat menepis pikiran yang melintas di benaknya itu.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan, Ngku?” Suara salah seorang anak buahnya menyadarkan Angku Kotik dari arus lamunan.
“Ya, kita harus membedah perut rusa ini dengan hati-hati, dan mengeluarkan anaknya secepat mungkin.” Ujarnya, lalu mulai membedah perut rusa itu.
Darah kembali mengucurbegitu perut rusa betina bunting itu menganga. Di dalamnya, dalam balutan selaput putih tipis bersimbah darah, anak rusa itu bergerak kian cepat. Angku Kotik mengiris selaput tipis yang menghubungkan bayi merah itu dengan induknya. Meletakkan pisaunya, laki-laki itu kemudian dengan pelan mengangkat bayi rusa itu ke luar. Ia masih sangat kecil.
Bayi itu menggeliat-geliat. Salah seorang anak buah Angku Kotik segera memangkas beberapa helai daun sipisang-pisang, kemudian menyusunnya sebaik mungkin di atas tanah. Angku Kotik membaringkan bayi rusa itu di sana.
Langit kian kelam. Petir menggelagar. Anjing-anjing, entah kenapa, melolong-lolong begitu keras. Tak menunggu lama, derai hujan mulai turun mewujud titik-titik kecil air, yang kemudian berubah menjadi curahan deras yang tumpah dari angkasa. Angin berhembus kencang.
Para pemburu panik, tak terkecuali Angku Kotik. Mereka bahkan belum sempat mengambil daging rusa itu! Dan sekarang hujan turun begitu lebat, seolah menghalangi mereka.
Bersamaan dengan hujan yang makin menderas, dan kekalutan para pemburu yang dengan tergesa menyayat sebongkah demi sebongkah daging dari induk rusa yang sudah menjadi mayat, serta lolongan anjing-anjing mereka yang menyalak-nyalak dan melolong tak beraturan, tiba-tiba saja anak rusa tadi berdiri. Ia mengikik kecil, lalu melonjak-lonjak beberapa kali.
Semua yang ada di sana terpana melihat rusa kecil itu berputar-putar sembari melonjak, seperti menarikan ritual entah apa. Kabut tebal tiba-tiba datang entah dari mana, menyelimuti mereka semua. Setelah itu, hanya lautan kabut seputih kapas yang bisa dilihat semua pemburu itu. Bahkan teman yang duduk di samping mereka pun tak bisa lagi mereka lihat. Kabut tebal aneh itu telah menutupi semuanya.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?” terdengar seseorang membuka suara, sedikit berteriak.
“Hei, apa kalian masih di sana?” seseorang yang lain juga mengacungkan tanya.
Lalu, perlahan, kabut itu mulai menipis dan semakin menipis hingga semuanya kembali terlihat jelas. Tapi, para pemburu itu menemukan diri mereka dan anjing-anjing yang mereka bawa berada di tempat yang sama sekali berbeda. Jika tadi mereka berada di sebuah lembah yang diapit tebing karang penuh pakis, sekarang mereka berada di sebuah padang rumput yang maha luas. Tak seorang pun dari mereka pernah melihat padang rumput seluas itu.
“Di mana kita?” tanya seseorang.
“Aku tak tahu! Aku belum pernah ke tempat ini!”
“Mungkin Angku tahu….Eh, mana Angku Kotik?”
Mendadak, begitu pertanyaan itu terucap, semua pemburu itu baru menyadari bahwa Angku Kotik tak ada di antara mereka. Begitupun dengan rusa kecil itu.
Anjing-anjingkembali menyalak dan melolong. Kepanikan dan ketakutan kembali meneror para pemburu. Tak salah lagi, rusa yang mereka bunuh memang rusa keramat yang selama ini dibicarakan orang-orang ada di hutan itu.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang? Tanpa Angku Kotik, bagaimana mungkin kita bisa kembali ke kampung?”
Semua pemburu terdiam; gemetar. Di kiri-kanan mereka, hingga ke batas cakrawala, hanya terlihat padang rumput yang menghampar hijau. Mereka tak tahu ke mana hendak mulai melangkah. Sementara itu, anjing-anjing tak henti-hentinya menyalak dan melolong.
Sumpur Kudus, 22 Februari 2011. (Dimuat di Padang Ekspres, 4 Maret 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H