Mohon tunggu...
Afri Meldam
Afri Meldam Mohon Tunggu... -

afri meldam, lahir di sebuah desa kecil di pedalaman sumatera. menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai batang sumpu dan menangkap ikan. banyak hal di dunia ini yang tak dia mengerti, dan ia senang belajar hal-hal baru. selain suka bepergian ke tempat-tempat eksotis, ia juga merupakan seorang petualang kuliner. namun, makanan yang paling dicintainya adalah gulai ikan bawuang masakan sang ibu. saking sukanya, jika tabungan sudah mencukupi, ia berencana membuka warung makan yang menyediakan menu tradisional racikan sang ibu - sebuah cita-cita sederhana yang ia harap bisa segera terwujud.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Iklan dan Pengekalan Wacana

29 Februari 2012   11:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:44 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Afri Meldam

Salah satu topik yang luas diperbincangkan dalam studi pascakolonial adalah hierarki kekuasaan yang dimanifestasikan dalam konsep oposisi biner (binary oppositions). Istilah ini mengacu pada semacam dikotomi di mana masing-masing pasangan yang beroposisi memperlihatkan struktur dominasi terhadap oposisinya.

Pemahaman tentang konsep oposisi biner pertama kali dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, seorang ahli linguistik berkebangsaan Perancis, yang mengatakan bahwa penanda (signifier) akan menemukan makna (meaning) tidak hanya karena merujuk pada petandanya (signified), tetapi juga pada bagaimana penanda tersebut memperlihatkan oposisinya terhadap penanda yang lain. Kata ‘hitam’tak hanya memilii arti/makna karena mengacu pada salah satu warna (dalam bentuk konkret, bukan konsep), melainkan juga karena ‘hitam’ menandai sebuah perbedaan konsep dan bentuk dengan kata ‘putih’. Hal yang sama juga berlaku antara siang >< malam, laki-laki >< perempuan, hidup >< mati, dan lain-lain.

Meskipun terlihat ‘biasa-biasa saja’, namun pada kenyataannya dalam oposisi biner terdapat struktur ‘kekuasaan’, dimana unsur yang satu mensubordinasi unsur yang lain. Laki-laki, misalnya dianggap lebih ‘baik’ daripada perempuan; atau putih dipandang lebih ‘mulia’ daripada hitam. Hal ini memang hanya bersifat semena-mena dan tak lebih hanya mitos semata. Namun, konsep pemikiran oposisi biner telah telah tertanam dan mengakar dalam pola pikir masyarakat umum.

Dalam konteks studi pascakolonialisme, oposisi biner hadir sebagai salah satu wacana (discourse) untuk melanggengkan praktik penjajahan (kolonialisme). Seperti yang pernah diungkap Edward Said dalam buku monumentalnya ‘Orientalism’ (1978), dari dulu, melalui berbagai macam teks, Barat telah berupaya mengkonstruksi pelbagai wacana (yang dominan terlihat dalam konsep opisis biner) terhadap Timur yang bias dan menempatkan mereka sebagai ras terbaik.

Dengan penanaman wacana seperti ini, orang-orang akan menilai bahwa penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa (Barat) adalah sebuah keniscayaan dan kewajaran dalam upaya membuat Timur menjadi lebih beradab. Hingga tak heran jika kemudian kita menemukan teks-teks Oriental (tentang Timur) yang secara eksplisit maupun implisit menggambarkan perbedaan ‘nyata’ antara Barat dan Timur: Barat adalah bangsa yang beradab (civilized), maju (advanced), berbudaya tinggi, menguasai ilmu pengetahuan, sedangkan Timur adalah bangsa yang biadab (savage/uncivilized), barbar, pemakan manusia (kanibal), bodoh dan percaya pada hal-hal mistis.

Lebih lanjut, mengutip Said, Bill Ashcroff dkk dalam Key Concepts in Post-colonial Studies (2000), menyebutkan bahwa wacana tentang Timur yang ‘uncivilized’ telah jauh hari menjadi ‘perbincangan sehari-hari’ dalam kehidupan masyarakat Barat. Jauh sebelum praktik penjajahan dilaksanakan, konsep pemikiran opisisi biner telah menjadi hal yang umum dibicarakan di semua kalangan di Eropa sana. Sehingga, ketika mereka memutuskan untuk ‘memanusiakan’ Timur yang barbar, Barat seolah ingin mendapatkan pembenaran atas segala bentuk penjajahan yang dilakukan.

Iklan dan upaya pengekalan oposisi biner

Berakhirnya penjajahan bukan serta-merta menjadi akhir dari semua bentuk ‘kekuasaan’ Barat terhadap Timur. Dampak paling parah dari penjajahan sebenarnya bukanlah terletak pada kerusakan fisik semata, namun lebih kepada kerusakan psikologis yang ditinggalkannya. Kerusakan fisik akibatpenjajahan tentu bisa diperbaiki kembali dalam jangka waktu yang singkat, namun kerusakan psikologis akan selalu menjadi ‘mimpi buruk’ bagi bangsa yang pernah dijajah. Identitas sebagai bangsa pun mengalami pelapukan.

Di berbagai aspek kehidupan hari ini, Barat terbukti masih menjalankan praktik kolonisasi. Imperialisme modern yang dilancarkan melalui berbagai produk industri dan budaya yang diproduksi secara besar-besaran membuat Barat mampu untuk terus mempertahankan hegemoninya terhadap Timur. Gejala ini secara sederhana dapat dilihat dalam perilaku masyarakat kita yang seolah berkiblat ke Barat sana. Apa saja yang berbau Barat dianggap sebagai sesuatu yang ‘bergengsi’, ‘modern’, dan ‘’maju’. Sementara bangsa sendiri masih saja dinilai ‘rendah’ dan ‘kurang bergengsi’.

Kondisi psikologis bangsa Indonesia yang mengalami ‘pelapukan identitas’ ini sepertinya dipahami dengan bagus oleh industri kecantikan. Hal ini kemudian diterjemahkan oleh pelaku industri ke dalamberbagai produk, yang dalam proses promosinya didukung oleh semacam upaya yang terlihat seolah ingin mengekalkan wacana tentang oposisi biner Barat versus Timur. Dalam iklan-iklan produk kecantikan yang ditampilkan di berbagai media cetak dan elektronik, wacana tentang Barat yang ‘lebih baik’tampak dengan jelas.

Produk kecantikan seperti pembersih wajah, losion, pelembab (moisturizer) dan lain-lain pada dasarnya dibangun melalui pengekalan atas wacana yang tertuang dalam oposisi biner. Meski dengan produk dan merk yang berbeda, namun hampir semua iklan tersebut berbicara tentang satu hal: bahwa kulit putih (white) lebih baik daripada kulit gelap atau hitam. Pada titik ini, jika dipandang dari kacamata pascakolonial, iklan yang membangun wacana ‘keunggulan kulit putih dibanding kulit gelap’ secara tak langsung telah mensubordinasi bangsa Timur.

Ketika sebuah iklan produk kecantikan menampilkan seorang perempuan berkulit gelap yang merasa minder dan malu dengan kondisi fisiknya, maka iklan tersebut sedang berupaya untuk terus memosisikan Timur (yang mayoritas orang-orangnya berkulit gelap) sebagai bangsa yang inferior. Pun, ketika wajah yang putih bersih dianggap sebagai jawaban satu-satunya dari rasa minder dan malu tersebut, iklan juga tengah membenarkan wacana yang ada dalam oposisi biner Barat-Timur. Bahwa kulit putih (Barat) merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perempuan ketika ia ingin menjadi perempuan yang cantik adalah wacana lain yang ingin dibangun melalui iklan sejenis ini.

Sebagai sebuah strategi promosi, pelaku industri dan pengolala iklan produk kecantikan nampaknya mengetahui dengan baik kondisi psikologis masyarakat pascakolonial yang telanjur ‘mengakui’ keunggulan bangsa penjajah (Barat). Mereka kemudian menjaga wacana tersebut untuk terus bertahan dalam pola pikir masyarakat melalui berbagai jenis iklan produk kecantikan.

Iklan-iklan tersebut menampilkan model-model berkulit putih sebagai perwujuduan dari sosok ‘perempuan cantik’. Secara tak langsung, iklan-iklan ini sepertinya juga ingin ‘memberikan bukti’ kepada konsumen bahwa mereka yang berkulit gelap tidak akan mendapatkan pasangan idaman; akan menemui masalah dalam kehidupan rumah tangga; akan selamanya menjadi orang yang merasa minder dan tidak percaya diri. Singkatnya, iklan-iklan tersebut ingin mengekalkan wacana ‘putih lebih baik daripada hitam’ dalam benak masyarakat Timur.

Namun, apakah semua itu benar? Benarkah hanya perempuan berkulit putih saja yang layak mendapat prediket cantik? Benarkah hanya mereka yang mempunyai kulit putihsaja yang bisa mendapatkan kisah cinta yang indah? Apakah dengan menjadi putih semua permasalahan hidup akan teratasi begitu saja?

Jawabannya tentu saja tidak. Putih dan hitam mempunyai potensi, bakat, hak, kemampuan serta kesempatan yang sama untuk menjadi lebih baik. Tak selamanya putih itu ‘lebih baik’daripada hitam.

Afri Meldam, penulis lepas. Artikel ini pernah dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun