Mohon tunggu...
Afri Meldam
Afri Meldam Mohon Tunggu... -

afri meldam, lahir di sebuah desa kecil di pedalaman sumatera. menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai batang sumpu dan menangkap ikan. banyak hal di dunia ini yang tak dia mengerti, dan ia senang belajar hal-hal baru. selain suka bepergian ke tempat-tempat eksotis, ia juga merupakan seorang petualang kuliner. namun, makanan yang paling dicintainya adalah gulai ikan bawuang masakan sang ibu. saking sukanya, jika tabungan sudah mencukupi, ia berencana membuka warung makan yang menyediakan menu tradisional racikan sang ibu - sebuah cita-cita sederhana yang ia harap bisa segera terwujud.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antri Masih Belum Menjadi Budaya Kita

2 Maret 2012   04:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Mem)budaya(kan) Antri

Oleh: Afri Meldam

Antri, tampaknya memang belum menjadi bagian dari kebiasaan kita masyarakat Indonesia. Setidaknya, itulah yang saya lihat sendiri beberapa hari yang lalu.

Waktu itu, atas undangan seorang teman, saya menghadiri acara halal bihalal warga Sijunjung di sebuah hotel berbintang di kota Padang. Acara berlangsung dari pukul 10.00 pagi hingga jam makan siang – nah saat jam makan siang inilah peristiwa itu terjadi.

Di ruang pertemuan tempat acara tersebut diadakan, telah disediakan hidangan makan siang lengkap di dua sisi yang berbeda. Sebelum acara makan-makan dimulai, pembaca acara telah memberitahu para hadirin bahwa meja di sebelah kanan adalah untuk para wanita, sementara yang di sebelah kiri adalah untuk kaum pria. Namun, entah karena perut semua hadirin sudah pada kosong atau apa, begitu pembaca acara mempersilakan, semua berkerumun ‘menyerang’ hidangan prasmanan tersebut tanpa mengacuhkan ‘aturan’ yang telah dibuat oleh sang pembawa acara (atas saran panitia, tentunya). Semua berebutan; seolah takut tak dapat jatah!

Itu belum seberapa. Beberapa saat kemudian, ketika saya ambil bagian dalam ‘pertempuran memperebutkan makanan’ itu, kesabaran saya diuji oleh tingkah beberapa orang bapak-bapak (pejabat Pemda?) yang tanpa rasa segan sedikitpun ‘menyalip’ antrian di depan saya. Parahnya lagi, begitu ia ‘menguasai’ meja hidangan, sang bapak lalu menawarkan bantuan kepada rekan-rekannya yang lain. Padahal, antrian di belakangnya masih panjang.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kejadian tersebut. Saya hanya tak habis pikir, mengapa seorang bapak-bapak bisa berbuat seperti itu. Bukannya memberi tauladan kepada yang muda, ini malah mengundang umpatan.

Pikiran saya kemudian melayang ‘flash-back’ ke peristiwa naas yang terjadi sebelum Lebaran yang lalu di Pasuruan, Jawa Timur. Terlepas dari kurang tepatnya sistem pembagian zakat mal yang dilakukan oleh pihak pemberi zakat, tewasnya 21 orang penerima zakat tentu tak akan terjadi jika saja warga mau antri dan tidak berebutan untuk masuk lebih dulu ke lokasi pembagian zakat.

Lupakan dulu kelengahan pemerintah dalam memantau dan merawat infrastruktur di daerah. Peristiwa runtuhnya jembatan gantung di Calau, Sijunjung (17/08/08) yang menewaskan 3 orang warga sekitar mungkin juga tak akan terjadi jika saja para peziarah mau bersabar menunggu giliran untuk menyebrang; mengingat jembatan tua tersebut hanya mampu menampung maksimal 20 orang penyebrang.

Itu hanya sedikit contoh keenggan masyarakat kita untuk antri. Jika ditelisik lebih jauh, tentu banyak contoh-contoh kejadian lain yang menggambarkan betapa belum jamaknya masyarakat kita dengan budaya antri.

Bagaimana kita bisa maju kalau untuk antri saja kita masih belum sanggup. Padahal, apa susahnya sih antri?

Sudah saatnya kita membudayakan antri di tengah-tengah masyarakat.

(Afri Meldam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun