Siapa hari ini yang tidak tergelitik dengan metodoe kampanye para Calon Presiden Indonesia 2024? Seperti Gemoy, Abah atau Satset.
Di era disrupsi ini, teknologi dan internet semakin maju. Pesatnya informasi, tanpa adanya filterisasi. Informasi tersebut dihimpun dan diakumulasi menjadi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tersebut yang akan menjadikan landasan berpikir, berbicara dan bertindak setiap insan. Dari landasan tersebut yang akan menjadikan perspektif setiap insan melihat dunia. Dunia mana yang akan dipilih? Tergantung bagaimana setiap insan melihat dunia, jika direduksi, artinya tergantung paradigma setiap manusia.
Jika paradigma setiap manusia mempunyai prosedural dan arah yang jelas melihat realitas, maka paradigma tersebut yang akan menerjemahkan bahwa manusia secara sadar adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, hal yang paling fundamental adalah berinteraksi dengan manusia lain. Ratusan hingga ribuan kosakata akan ditemukan dalam kurun waktu yang singkat.
Bahasa adalah media manusia untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Bahasa merupakan unsur semiotik, yang dimana tergantung pada interpretasi dan persepsi setiap manusia. Tentu kita akan menemukan makna dalam setiap bahasa pada konteks yang sedang dibicarakan.
Realitas hari ini terjebak dalam situasi dimana manusia tidak bisa terlepas dari teknologi. Salah satu contohnya adalah Handphone, yang berisikan fitur-fitur media sosial. Mulai dari kehidupan sehari-hari, keberadaan lokasi, berinteraksi, hingga merambat pada biro jodoh, seperti dating apps. Tidak ada yang salah. Yang salah adalah ketika kita terperangkap abstraksi media sosial, yang melegitimasi keberadaan Kapitalisme Kontemporer.
Hal itu terlihat ketika kata atau kalimat yang menjadi stimulus di media sosial yang sifatnya abstrak, tetapi di telan mentah-mentah oleh para Pemuda. Alhasil, kita sepakat bahwa Gemoy, Abah dan Satset merepresentasikan para Calon Presiden. Luar biasa memang pengaruh Kapitalisme Kontemporer, mengingat indeks literasi masyarakat Indonesia masih dibawah dari horizon minimal.
Padahal ketika kita bisa memanfaatkan bahasa sebagai media dan sosiologi sastra sebagai pisau analisis, kita akan menemukan kecacatan dari ketiga Calon Presiden 2024 tersebut.
Bicara eksistensi Pemuda dalam kontestasi Pemilu 2024 adalah bicara Indonesia lima sampai puluhan tahun kedepan. Apakah perubahan bisa terwujud dalam jangka waktu lima tahun? Tentu tidak. Bukan berarti menggariskan bahwa Presiden harus seumur hidup juga. Tapi yang jadi pertanyaan apakah Pemilu bisa menyelesaikan masalah? Tentu melihat kompleksitas dan kerusakan yang terstruktur dan sistematis politik di Indonesia menjadikan Pemuda mempunyai peran penting dalam menentukan nasib kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Dunia terbentuk dari hasil pertentangan kelas" -Marx.
Kita akan mempertanyakan kalimat Marx, siapa yang menggerakan pertentangan kelas tersebut? Tentu kaum buruh dan kaum intelektual, yaitu Pemuda. Pertentangan kelas akan terjadi ketika 500.000 hektar tanah hanya dimiliki oleh kelompok tertentu, yang artinya redistribusi kekayaan tidak dilaksanakan. Menegasikan konstitusi negara pada Pasal 33 ayat 3, "Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Antonio Gramsci membagi kategorisasi Intelektual menjadi dua; Intelektual Organik dan Intelektual Tradisional. Lagi-lagi realitas menentukan kesadaran, dan kesadaran melahirkan hal-hal yang Organik. Intelektual Organik harus menjadi prinsip bagi para Pemuda hari ini. Berbeda dengan Intelektual Tradisional, yang berada dalam lingkaran feodalisme.