Mohon tunggu...
Anisa Larassati
Anisa Larassati Mohon Tunggu... -

Because you want to know more about me you can read my biography. It's called "Beowulf".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jilbab Bongkar Pasang

23 Mei 2011   02:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:20 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Catatan ini bukan bertujuaan untuk memberikan tausiah dengan menyertakan hadist- hadist sahih dan beberapa penggalan ayat suci Al Qur'an. Dalam hal ini, tentu saja banyak teman-teman yang lebih ahli :)

Catatan ini adalah pendapat pribadi bedasarkan kejadian sehari-hari yang saya alami. Saya melihat, memikirkan, lalu menuliskan.

Be as neutral as possible in reading this note, tolong yang merasa, jangan sakit hati ya..

Mari kita sama-sama perbaiki diri :)



Saya mengalami beberapa cerita dan kejadian unik yang berhubungan dengan jilbab.

Ketika saya masih kelas 1 SMA, saya rajin mengikuti kegiatan Pramuka. Saat itu ada seorang Kakak kelas yang selalu saya ingat sampai sekarang karena kegalakannya. Meskipun perempuan, suaranya lantang dan kalau sudah memarahi adik-adiknya, luar biasa sekali dampaknya. Mungkin saat itu dia hanya ingin menunjukkan ketegasannya dan mencoba melatih mental adik-adiknya supaya 'tahan banting'. Akan tetapi, seperti kakak pembina yang galak pada umumnya, dia tidak begitu disukai oleh adik-adiknya (termasuk saya pada waktu itu). Ada yang bilang karena dia berjilbab, tidak seharusnya berperilaku seperti itu. Lalu kami sering membandingkannya dengan kakak pembina lain yang juga berjilbab tetapi lebih lembut dan santun. Ada pula teman saya yang mengatakan bahwa dia sebenarnya mengenakan jilbab karena salah potong rambut. Kami seolah tak bisa menerima bahwa ada seorang yang berjilbab tetapi galaknya minta ampun. Setelah saya kelas 2 dan berjumpa dengan kakak kelas tersebut, ternyata dia sudah tak berjilbab. Saya jadi ingat teman saya yang bilang bahwa dia berjilbab karena salah potong rambut, meskipun  sampai sekarang validitas cerita tersebut belum teruji.

Lain cerita ketika saya masih kuliah di Semarang. Saat itu saya bertemu seorang adik kelas di sebuah mall. Saya tidak akan mengenalinya kalau dia tidak menyapa saya lebih dulu. Dia terlihat begitu berbeda dengan baju pendek dan celana pendeknya. Agak malu-malu dia mendekati saya. Mungkin karena dia selalu memakai jilbab di kampus jadi agak canggung bertemu dengan saya, apalagi mungkin melihat ekspresi muka saya yang kelihatan bingung.

Ada pula seorang teman satu kelas yang tidak mengenakan jilbab seperti biasanya sewaktu di kampus. Saat ditanya, jawaban sederhana muncul darinya:

"Iya, rambutku belum kering habis keramas tadi"

Maka saat berjumpa di kelas lain di hari yang lain pula, dia kembali memakai jilbab dengan rapi. Mungkinkah karena pada saat itu dia tidak keramas? atau sudah beli hair dryer? entahlah.

Sebaliknya, ada pula seorang teman yang menyatakan:

"Kata orang-orang, aku lebih cantik saat pakai jilbab. Aku janji, akan mulai pakai jilbab kalau nanti aku sudah mendapat pekerjaan yang mapan."



Beberapa hari yang lalu saya menemui paradox yang lebih unik. Sudah beberapa bulan ini saya tinggal di Malaysia, sebagian besar wanita disini berjilbab dan banyak pula yang bercadar. Saat menuju kampus saya menjumpai seorang mahasiswi di bis kampus mengenakan celana jins dan kaos pendek yang lumayan ketat. Meskipun begitu dia tetap berjilbab. Setelah turun dari bis menuju fakultas, saya berjumpa dengan mahasiswi lain yang mengenakan baju kurung. Baju khas Malaysia yang panjang dan longgar, dengan bawahan rok yang longgar pula hampir seperti gamis. Tetapi sebaliknya, rambutnya yang model spike pendek itu terlihat jelas. Alias, dia tidak berjilbab.

Banyak cerita memang. Dan banyak pula alasan untuk mengenakan ataupun untuk tidak mengenakan jilbab.

Alasan yang sering dipakai untuk tidak memakai:

"Aku belum siap. Yang penting berjilbab dulu hatinya. Banyak juga kok yang berjilbab tapi tetep berbuat maksiat, bajunya pun masih ketat."

Klise.

Tidakkah terpikirkan menganai makna dari sebuah kata, "kewajiban" ?

Sedangkan mengenai kesiapan, berapa lama kah kita butuh waktu untuk sepenuhnya siap? Dan apakah syaratnya supaya siap? Parameternya?

Dan mengenai pandangan bahwa memakai jilbab tidak menjamin seseorang tidak akan berbuat maksiat, saya juga sempat berpikir begitu. Akan tetapi, secara tidak sadar, dengan mengenakan jilbab saya lebih merasa malu. Malu berkata kasar, malu berkelakuan buruk, malu kalau tidak shalat, malu kalau tidak bisa menahan emosi, malu berbuat hal-hal yang dilarang agama saya. Intinya, saya merasa malu bila berbuat maksiat karena saya seorang muslim yang mengenakan jilbab. Saya malu jika berbuat hal buruk, lalu orang-orang melihat jilbab saya kemudian mengeneralisasikan bahwa perempuan berjilbab tidak semuanya baik. Dengan berjilbab, saya membawa nama Islam sehingga harus benar-benar menjaga perilaku.

Karena jilbab bukan hanya bagian dari fashion, tetapi bagian dari identitas saya sebagai seorang muslim.



Untuk berjilbab atau tidak berjilbab serta pilihan bagaimana cara berjilbab, tentu harus dikembalikan ke pribadi masing-masing.

Menurut saya sendiri, hal ini bukan tentang 'siap', tetapi tentang sesuatu yang bernama  'wajib dan niat'.

Like ·  · Share · Delete

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun