Mohon tunggu...
AFNI NUR SADIAH
AFNI NUR SADIAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Syariah - UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

"tranquillitas est omnia" - ketenangan adalah segalanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah dan Evolusi Pemikiran Syiah: Perjalanan Teologi dan Ideologinya dalam Islam

28 Oktober 2024   20:34 Diperbarui: 29 Oktober 2024   07:32 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syiah adalah salah satu madzhab utama dalam Islam dengan sejarah yang panjang serta perkembangan pemikiran yang dinamis. Perbedaan mendasar antara Syiah dan Sunni berawal dari perdebatan mengenai siapa yang berhak menggantikan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat Islam setelah beliau wafat. Umat Islam terbelah menjadi dua kelompok besar: mereka yang percaya bahwa kepemimpinan seharusnya dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya (Syiah) dan mereka yang mengakui Abu Bakar sebagai khalifah pertama (Sunni). 

Syiah muncul sebagai gerakan politik dan religius yang berfokus pada keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, adalah pemimpin sah umat Islam setelah Nabi. Kaum Syiah meyakini bahwa Ali dan keturunannya berhak atas kepemimpinan karena dianggap memiliki pengetahuan mendalam tentang agama dan bimbingan ilahi. Oleh karena itu, Syiah sering disebut Syiah Ali, yang berarti pengikut Ali.

Setelah kematian Ali, para pengikutnya semakin menegaskan keyakinan bahwa keluarga Nabi, yang dikenal sebagai Ahlul Bait, merupakan pewaris sah dalam hal kepemimpinan dan agama. Pemikiran ini semakin kuat terutama setelah tragedi di Karbala pada tahun 680 M, ketika cucu Nabi, Husain bin Ali, bersama para pengikutnya, dibunuh oleh pasukan Khalifah Yazid. Peristiwa ini menjadi titik balik yang memperkuat identitas dan keyakinan Syiah.

Seiring berjalannya waktu, pemikiran teologi Syiah berkembang menjadi berbagai aliran, seperti Syiah Imamiyah (Itsna Asy'ariyah atau Syiah Dua Belas Imam), Zaidiyah, dan Ismailiyah. Setiap aliran memiliki perbedaan dalam doktrin dan penerimaan terhadap garis keturunan imam.

Syiah Imamiyah (Dua Belas Imam): Aliran ini meyakini bahwa terdapat dua belas imam yang merupakan keturunan langsung dari Ali dan Fatimah, putri Nabi Muhammad. Mereka percaya bahwa imam terakhir, Muhammad al-Mahdi, menghilang (ghaybah) dan akan kembali sebagai Imam Mahdi di akhir zaman untuk menegakkan keadilan. Konsep *Imamah, yang menjadikan imam sebagai maksum (terpelihara dari dosa), menjadi dasar teologi mereka.

Syiah Zaidiyah: Berbeda dengan Imamiyah, aliran ini hanya mengakui empat imam pertama dan menolak konsep infalibilitas imam. Mereka lebih dekat dengan ajaran Sunni dalam hal fiqh dan teologi, tetapi tetap mengakui bahwa Ali adalah khalifah yang sah setelah Nabi.

Syiah Ismailiyah: Aliran ini muncul dari perbedaan dalam penerimaan imam ketujuh. Mereka meyakini bahwa Ismail, putra Imam Ja'far al-Shadiq, adalah imam yang sah. Ismailiyah memiliki sejarah panjang dalam misi dakwah (da'wah) dan berpengaruh dalam pendirian Dinasti Fatimiyah di Mesir.

Dalam teologi Syiah, konsep Imamah merupakan inti ajaran. Imam tidak hanya sebagai pemimpin politik tetapi juga sebagai pemimpin spiritual yang memiliki kemampuan khusus dalam menafsirkan hukum syariat dan memandu umat. Para imam Syiah dianggap sebagai penerus Nabi yang memiliki pengetahuan esoteris dan kekuasaan spiritual, serta dianggap sebagai manifestasi dari keadilan ilahi yang penting untuk menjaga kemurnian ajaran Islam.

Pemuliaan terhadap Ahlul Bait juga menjadi aspek utama dalam ajaran Syiah. Mereka dipandang sebagai sumber ajaran Islam yang murni, dan tradisi Syiah seringkali mengadakan peringatan seperti Asyura untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan Imam Husain di Karbala. Kecintaan dan penghormatan terhadap Ahlul Bait bukan hanya bersifat ritual, tetapi juga teologis, karena mereka dianggap sebagai teladan bagi seluruh umat Islam.

Di era modern, pemikiran Syiah menghadapi berbagai tantangan dan perluasan. Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979 menjadi momen penting yang membawa pemikiran Syiah ke arena global. Revolusi ini dipimpin oleh Ayatollah Khomeini, yang memperkenalkan konsep Wilayah al-Faqih (kepemimpinan oleh seorang ahli hukum Islam) sebagai bentuk pemerintahan yang sejalan dengan ajaran Syiah. Konsep ini mengisyaratkan bahwa seorang faqih yang memiliki keadilan dan pengetahuan mendalam tentang agama dapat memimpin umat selama ketiadaan Imam Mahdi.

Selain itu, pemikiran Syiah kontemporer juga sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan gerakan Islam lainnya serta tantangan globalisasi dan sekularisasi. Para cendekiawan Syiah terus mengembangkan wacana yang relevan dengan isu-isu modern seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan hubungan antaragama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun