Mohon tunggu...
Afiya Khoirina
Afiya Khoirina Mohon Tunggu... Lainnya - Author

Afiya khoirina Mahasiswi, Author لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ وَلِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini dalam Pandemi

21 April 2020   16:36 Diperbarui: 21 April 2020   16:41 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak kenal dengan Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat, atau yang lebih kita kenal sebagai RA Kartini sebagai cermin tragedi perempuan di abad-20 yang mana harkat dan martabat perempuan terperosok  di sumur, dapur, dan kasur

Dengan kata lain, wanita hanya berperan dalam hal macak, masak dan manak. Jauhnya wanita Jawa hanya  dilukiskan sebagai konco wingking,  yaitu pembantu yang melayani suami dalam urusan belakang. 

Hal itulah yang mengilhami RA Kartini menggaungkan semangat mengubah keadaan wanita Indonesia dengan jalan pendidikan. Pemikiran pendidikanya yang kritis, disebabkan adanya benturan atas berbagai permasalahan yang dihadapinya berdasar atas pengalaman-pengalaman  secara edukatif  sehingga melahirkan konsep praktis mengenai pendidikan tentang perempuan. 

Karena pendidikan dirasa merupakan satu-satunnya alat untuk mengangkat derajat perempuan dan menyadarkan kepada masyarakat luas bahwa perempuan memilki peran penting untuk membangun sebuah peradaban. 

Agaknya selalu menjadi pembicaraan yang sangat menarik dan seakan tidak ada habisnya untuk diperbincangkan mengenai perempuan. 

Barangkali perempuan memang tidak bisa seluruhnya menduduki "High profile", namun juga tidak menutup kemungkinan banyak perempuan dunia yang tampil sebagai inspirator maupun aktor yang memiliki kekuatan dan juga kemampuan untuk memimpin bangsa, dan menyuarakan bahwasanya perempuan juga bisa berkarya, sepertihalnya Megawati Sukarno Putri (Indonesia), Gloria Macapagal Arroyo (Philipina), Shek Hazina (Bangladesh), Benazir Bhuto (Pakistan), Indira Gandhi, Sonia Gandhi (India), dan lain-lain.

Konsep pendidikan RA Kartini memang sudah terwujud di era sekarang ini, perempuan bisa menjadi apapun dan bisa mengakses pendidikan dimanapun dan kapanpun bahkan menyetarai laki-laki dalam bidang pendidikan. 

Pendidikan menjadikan perempuan mendapatkan sebuah kebebasan untuk berdiri sendiri, mandiri serta memberdayakan potensi yang dimilki dalam dirinya terlebih saat masa krisis akibat pandemi Covid-19 ini. 

Pandemi sendiri diartikan sebagai kondisi dimana penyakit menular menyebar dengan cepat dari manusia ke manusia lain dibanyak tempat didunia. Menurut WHO(word health organization), organisasi kesehatan dunia, pandemi terjadi jika telah memenuhi tiga kondisi yakni: Munculnya penyakit baru pada penduduk, menginfeksi manusia, menyebabkan penyakit berbahaya, penyakit dapat menyebar dengan mudah dan berkelanjutan diantara manusia. Sedangkan KBBI mengartikanya sebagai wabah yang berjangkit serempak dimana mana meliputi daerah geografi yang luas.

Jika seabad yang lalu RA Kartini berjuang dalam himpitan adat istiadat untuk memajukan pendidikan perempuan dan membuat perempuan menjadi lebih bemakna dan terhormat. Kini ditengah pandemipun kita sebagai perempuan masa kini yang ditunjang dengan kemajuan teknologi yang serba canggih juga bisa menjadi lebih produktif walaupun hanya dirumah saja.  

Barangkali kita bisa menjadi lilin, sebagai pelita  disaat redup yang menjadi titik terang dan solusi dari kegelapan dengan tidak berhenti untuk terus berkarya dan belajar. 

Karena kita adalah saka guru peradaban juga Tarbiyatul Awlad untuk anak anak kita, pendidikan pertama dan utama. Karena kecerdasan seorang anak akan mewarisi cerdas ibunya. 

Terlebih dimasa seperti ini adalah moment yang tepat sebagai orangtua terutama ibu menjalankan peran penuh untuk mendidik anak karena sekolah hanya fasilitas yang memudahkan kita dalam memberikan pendidikan, namun kewajiban mutlak tetap berada di kita. 

Sebagai perempuan, istri, ibu  sekaligus anak kita juga bisa menjalankan peran kita masing-masing dalam  kondisi yang serba tidak menentu seperti sekarang ini, dengan menjadi penerang, penghangat, penenang dalam  keluarga.

Untuk kita perempuan yang bisa terus berkarya dengan dirumah saja mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Namun yang menjadi masalah adalah mereka perempuan-perempuan tangguh diluar sana yang mau tidak mau harus menjadi ibu sekaligus kepala keluarga. 

Banyak sekali diluar sana perempuan yang harus terjun langsung untuk bisa mencari nafkah demi bisa mencukupi kebutuhan keluarganya walaupun dalam riuh pandemi korona. 

Tak banyak dari mereka memaksa untuk tetap berjualan sebagai pedagang kaki lima dengan hasil yang tidak seberapa. Belum lagi dengan keadaan yang sekarang, pendapatan  mereka tergerus drastis hingga 50% dari biasanya, bahkan ada yang mengeluhkan dan menangis tidak mempunyai uang sama sekali untuk mencukupi kebutuhan mereka, terlebih untuk makan. 

Hal itupun juga dirasakan buruh wanita yang terpaksa di PHK(pemutusan hak kerja), ataupun dirumahkan tanpa digaji karena kendala utama adalah ketergantungan bahan baku dari luar, terutama dari China.

Tepat pada peringatan hari kartini ini, biasanya banyak sekali yang memeringati sebagai momentum mengenang perjuangan RA Kartini.  Namun kenyataanya masih banyak yang keliru, terkadang  masih banyak dalam momentum tersebut diselipi dengan hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai-nilai perjuangan Kartini seperti kontes kecantikan, yang kemudian pemenangnya dipilih menjadi Putri Kartini. 

Bagi pemenang tentunya memiliki peluang yang lebih luas untuk mendapatkan job-job yang menggiurkan, seperti menjadi model atau bintang sinetron misalnya. Bagi yang tidak cantik meskipun memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa, jangan harap untuk dapat menjadi juara. 

 Harusnya peringatan kali ini, RA Kartini yang dinobatkan sebagai pahlawan emansipasi wanita, barangkali mewarnai semangat tim medis terkhusus  para perempuan yang menjadi garda terdepan saat ini dalam penanganan Covid 19. Merekapun bisa dinobatkan pula menjadi pahlawan kemanusiaan karena nyawa bisa mengancam mereka setiap saat. 

Tidak jarang yang gugur satu persatu karena ikut terinveksi saat menangani pasien. Seperti yang dilakukan Afit, seorang tenaga medis di Rumha sakit Umum Daerah Pasar minggu, yang terpaksa harus rela berpisah dengan anaknya yang masih bayi, dan member ASI secara tidak langsung, yakni lewat perantara suaminya. 

Ada pula dokter Debryna Dewi seorang dokter yang bekerja di RS Wisma Atlet harus menahan diri dengan mengenakan APD selama 10 jam, dan was-was jika Alat pelindung mereka ada yang bolong. 

Selain itu Nuria Kurniasih seorang perawat asal Ungaran yang gugur dalam perjuanganya menyembuhkan pasien Covid 19 justru mendapat perlakuan yang tidak pantas dari warga yang menolak jenazahnya dimakamkan disana, mengingat banyak masyarakat yang belum memahami dan mendapat edukasi serta sosialisasi bahwa jenazah pasien Covid tidak akan menulari, karena tim medis dalam mengurusi jenazah sudah memenuhi protokol kesehatan dan viruspun juga  akan mati dalam tanah. 

Dengan demikian kartini dalam pandemi ini adalah kita sebagai kaum perempuan yang ditunjang dengan kemajuan teknologi yang serba canggih harusnya melanjutkan semangat juang serta cita-cita mulia RA kartini  dengan membuat kita semakin gemilang dan produktif dalam  berkarya untuk kemajuan bangsa ini, misalnya dengan menulis terlebih dalam kondisi seperti ini, yang mewajibkan kita untuk dirumah saja. 

Selain itu juga harus meneladani semangat juang para tenaga medis khusunya perempuan yang berjuang sekuat tenaga demi menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang dibuktikan dengan pengorbanan waktu dan keluarga mereka masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Hartutik. 2015. R.A. Kartini : Emansipator Indonesia Awal Abad 20. Jurnal Seuneubok Lada, Vol 2. No.1. Januari -- Juni.

Muthoifin, Mohamad Ali, Nur Wachidah. 2017. Pemikiran Raden Ajeng Kartini Tentang Pendidikan, Perempuan Dan Relevansinya Terhadap        Pendidikan Islam. Jurnal Studi Islam, Vol 18. No 1. Juni.

Pane, Armijn. 2000. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.

Parawansa, Khofifah Indar. 2000. Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritis atas Peran dan Kepemimpinan Wanita. (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan.

Tomy, Awuy. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta: Jentera Wacana Publika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun