Memberikan kesempatan yang setara bagi setiap individu tanpa memandang latar belakang, termasuk penyandang disabilitas, menjadi langkah penting dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Ke-16, yang menekankan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Salah satu aspek penting untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mendorong lingkungan yang Inklusif. Memberikan kesempatan yang setara bagi penyandang disabilitas di berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial dapat menjadi kunci bagi mewujudkan masyarakat yang adil, damai dan berkelanjutan.
“SDGs Ke-16 memiliki tujuan untuk menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan keadilan untuk semua, dan membangun akses kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.”
Apa itu Inklusivitas?
Di Indonesia, inklusivitas berarti mengatasi ketidaksetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini juga mencakup memastikan lembaga-lembaga negara dapat melayani semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Salah satu lembaga yang melayani kelompok rentan adalah Kementerian Sosial melalui program perlindungan sosial dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan membantu mereka mengakses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Inklusivitas bukan hanya soal memberikan kesempatan yang sama, tetapi juga mengubah perspektif masyarakat terhadap kelompok-kelompok rentan yang sering kali termarginalisasi.
Tantangan penyandang disabiltas
Penyandang disabilitas kerap menghadapi hambatan besar, mulai dari stigma sosial hingga ketidaksetaraan dalam akses pendidikan dan pekerjaan. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 menegaskan hak penyandang disabilitas untuk memperoleh akses setara dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, kenyataannya, banyak penyandang disabilitas masih menghadapi keterbatasan akses akibat kurangnya fasilitas inklusif dan penerapan kebijakan yang belum sepenuhnya efektif di sektor publik. Data BPS pada 2024 menunjukkan bahwa 17,2% penyandang disabilitas berusia 15 tahun ke atas tidak atau belum pernah bersekolah. Hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa mendapatkan pekerjaan. Fakta ini menunjukkan kesenjangan yang sangat besar dibandingkan dengan kelompok non-disabilitas.
Di dunia pendidikan, banyak sekolah belum memiliki fasilitas ramah disabilitas. Fasilitas seperti ramp untuk kursi roda atau teknologi pendukung belajar masih jarang ditemukan. Di sisi lain, di dalam dunia kerja juga belum sepenuhnya inklusif. Banyak perusahaan yang belum sepenuhnya memahami potensi penyandang disabilitas, sehingga peluang kerja bagi mereka masih terbatas. Padahal, banyak penyandang disabilitas yang berhasil membuka lapangan pekerjaan sendiri dengan berwirausaha. Hal ini seharusnya dapat mengubah stigma masyarakat dan perusahaan, agar lebih melihat potensi dan kemampuan yang dimiliki penyandang disabilitas, serta memberikan kesempatan yang sama bagi mereka untuk mengakses lapangan pekerjaan.
Kesimpulan
Memandang sebelah mata para penyandang disabilitas merupakan tantangan yang bukan hanya soal aksesibilitas fisik, melainkan juga hambatan psikologis yang sulit untuk diatasi. Pasalnya banyak yang masih menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang “berbeda” atau kurang mampu, padahal mereka memiliki potensi untuk berkontribusi dalam berbagai bidang jika diberi kesempatan yang setara. Dengan adanya hal tersebut, sangat penting untuk masyarakat memulai meningkatkan kesadarannya dalam upaya lebih memberdayakan penyandang disabilitas.
Sumber :