Mohon tunggu...
Afina Mahardhika
Afina Mahardhika Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Indonesian Studies, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cara-cara Menikmati Hari

14 Oktober 2015   22:01 Diperbarui: 15 Desember 2015   20:22 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini tekad saya sudah bulat. Saya putuskan pagi ini saya akan lari pagi di sekitar UI. Sendi-sendi saya terasa akan patah kalau saya tidak segera menggerakan tubuh saya. Malas berlari sendirian, saya ajak kawan-kawan saya, tetapi hanya satu orang yang menyanggupi. Kealpaan kawan-kawan saya tidak mematahkan semangat saya untuk lari pagi hari ini. Saya harus memberikan hak sehat pada tubuh saya.

Waktu menunjukan pukul 06.15, saya mulai melakukan peregangan di depan halte bis kuning Fakultas Teknik UI, tempat saya dan kawan saya akan bertemu. Saya sengaja datang jauh lebih awal dari janji kami karena ingin menikmati hobi saya—melamun. Lalu saya hanya duduk, menikmati suasana pagi di sekitar Teknik UI. Menyaksikan beberapa entitas yang tengah berkegiatan; tukang ojek menikmati kopi, pemuda yang berlarian membawa ransel dan beberapa kertas, dan gerombolan remaja yang berlari bersama-sama sembari tertawa.

Lega rasanya melihat suasana sekitar. Setiap orang menikmati kegiatan mereka bersama rekannya. Saya yang sedari tadi sendiri pun menikmati lemunan saya. Setiap aktivitas berjalan apa adanya. Saya rasa orang-orang di sekitar kampus UI mencintai hari Sabtu pagi.

Sudah hampir pukul tujuh, tetapi saya belum juga mendapati kawan saya datang. Saya justru melihat rekan organisasi saya, Edo. Ia terlihat terburu-buru menyeberang menuju Fakultas Teknik. Sorot mata kami saling bertabrakan.

“Pagi, De!” sapa saya terlebih dahulu.

“Eh, pagi, mbak!” balasnya.

            Kemudian terjadilan percakapan singkat antara kami. Dari percakapan itu, saya mengetahui bahwa ia memang tengah terburu-buru untuk menemui temannya di Fakultas Teknik. Deo telah membuat janji untuk mengerjakan tugas bersama temannya.

             Tak lama kemudian, kawan saya yang sedari tadi saya tunggu akhirnya datang, Reina. Saya bercerita padanya dengan ekspresi takjub tentang apa saja yang saya lihat pagi ini. Namun, Reina sepertinya tidak tertarik dengan hal-hal yang ia anggap sewajarnya terjadi pada pagi di hari Sabtu.

Hari Sabtu memang waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu guna meremajakan diri sendiri. Namun, saya sadar bahwa tidak semua orang memiliki waktu Sabtu pagi seperti saya, atau tukang ojek yang bersantai, atau remaja yang tertawa, atau teman saya yang masih ingin menikmati tempat tidur. Deo adalah salah satu contohnya. Mengerjakan tugas bersama teman adalah cara di menikmati Sabtu paginya.

***

Siang ini usai lari pagi, sarapan, dan mencuci, saya mendapatkan pesan di ponsel saya. Pesan tersebut berasal dari Reina. Dia meminta saya untuk menemaninya membeli kebutuhan sehari-hari di Margonda. Malas, saya berkilah dengan alasan cuaca yang terik. Namun, ia nekat menunggu saya di halte bis kuning Fakultas Teknik UI dan mengancam tidak akan kembali ke tempat kos apabila saya tidak menemuinya. Dengan berat hati saya beranjak dari kos menuju halte bis kuning. Terkadang, justru perbuatan nekat Reina yang demikian menjadikan persahabatan kami kian berwarna.

 Kampus kemarau. Deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan siang yang terik ini. Saya rasa kata-kata sedia payung sebelum hujan sudah tidak relevan kini. Di siang yang terik ini, saya membawa payung merah saya menyeberang menuju halte Fakultas Teknik. Benar saja, Reina sudah duduk manis di sana. ia tertawa cekikikan ketika melihat saya datang.

“Makasih lho, mbak! Hahaha” Sambutnya dengan nada yang menyindir.

Berjumpa lagi dengan halte bis kuning Fakultas Teknik UI, tentu dengan suasana yang berbeda. Siang ini justru tidak seramai pagi tadi. Tampaknya mahasiswa juga merasakan hal yang sama dengan saya—malas keluar tempat kos karena terik. Namun, ada beberapa hal yang tidak berubah sejak pagi; masih ada tukang ojek yang minum kopi di pangkalan, satu atau dua mahasiswa yang terburu-buru dengan membawa ransel dan kertas-kertas, dan Deo, rekan saya yang tadi pagi saya sapa.

“Hai, De! Ketemu lagi. Mau kemana, nih? Buru-buru banget.” Sapa saya terlebih dahulu.

“Hahaha, iya mbak. Ada pertandingan futsal. Aku buru-buru. Duluan, ya!” Balasnya singkat sembari berjalan dengan cepat menuju arah Fakultas Teknik.

Kemudian saya dan Reina saling bertatapan. Saya mengerti kami sedang memikirkan hal yang sama; bermain futsal di siang yang terik seperti ini. Saya tidak habis pikir, rekan saya selalu memiliki caranya sendiri dalam menikmati hari Sabtu. Saya dan Reina kemudian saling berunding untuk menentukan istilah yang tepat bagi mahasiswa-mahasiswa seperti Deo. Obrolan kami sempat terhenti saat bis kuning datang. Kami melanjutkan perjalanan menuju Margonda dengan tetap membahas istilah yang tepat untuk rekan saya. Inilah kami, menjadikan obrolan tidak penting sebagai hiburan aatau setidaknya untuk membunuh teriknya matahari siang ini.

***

Untuk ketiga kalinya saya kembali menginjakkan kaki di halte bis kuning Fakultas Teknik UI. Kali ini pada malam hari. Saya dan Reina, teman saya, memesan taksi yang menurunkan kami di halte ini. Lelah setelah melakukan thawaf di Margonda, kami duduk di halte. Tidak tanggung-tanggung, waktu sudah menunjukan tepat pukul 12 malam. Kami tidak yakin apakah tempat kos kami belum dikunci oleh penjaga. Namun kami terlalu lelah untuk khawatir.

Kami duduk di halte bis kuning untuk sekadar meluruskan kaki kami yang lelah. Suasana mala mini jauh berbeda dengan pagi dan siang ini di halte. Sepi, tidak ada mahasiswa berkeliaran, tukang ojek yang kian menipis tetapi masih setia dengan seduhan kopi mereka.

Malam ini angin malu-malu untuk berhembus, tetapi langit begitu ramai dengan bintang yang mengelilingi bulan yang akan hampir menjadi purnama. Tidak banyak manusia di sekitar halte pada tengah malam ini. Tidak ada Deo yang terburu-buru karena janji. Ia sudah tidur. Malam ini adalah kesempatan bagi alam untuk menjadi tokoh utama yang saya nikmati perannya.

“Semua orang sudah tidur, ya. Mahasiswa juga manusia, butuh tidur.” Celetuk Reina dari samping saya.

 Benar saja, semua orang butuh tidur. Presiden, menteri, petani, buruh, penjahat, siapapun mereka dan apapun kesibukannya, ada hal yang sama yang sama antara mereka; sisi alami. Secara alami, manusia butuh tidur. Lamunan saya  tentang tidur terhenti saat Reina menghentakkan kaki pertanda bahwa ia ingin segera pulang. Kami harus segera pulang. Ingin tidur.

- Selesai -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun