Mohon tunggu...
Afin Yulia
Afin Yulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer, blogger

Gemar membaca, menggambar, dan menulis di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kolak Kolang-kaling, Pengeling-eling agar Bersabar dan Menahan Diri di Bulan Ramadhan

9 April 2023   08:45 Diperbarui: 9 April 2023   08:48 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ISemangkuk kolak kolang-kaling menjadi pengeling-eling agar bersabar dan menahan diri di bulan ramadhan (sumber gambar: Afin Yulia)

Berbuka puasa memang kurang afdol jika tanpa takjil bagi kebanyakan orang Indonesia. Ada bermacam-macam takjil yang biasa disajikan waktu buka, salah satunya kolak. Bahan dasar makanan khas Indonesia ini beragam. Ada yang menggunakan ubi jalar, singkong, pisang, hingga kolang-kaling. Rasanya yang gurih manis berkat campuran gula serta santan bikin kolak digemari banyak orang. Termasuk saya dan keluarga.

Namun, sudah bertahun-tahun kami  mengerem keinginan untuk menikmati takjil ini sebelum berbuka. Tepatnya setelah dokter menyatakan ibu (kini almarhum) terkena diabetes. Sejak itu kami  sekeluarga memutuskan untuk mengurangi makanan manis dan memilih konsumsi air putih saja.

Namun, kala-kala kami membuatnya. Seperti hari itu, saat kami memasak kolang-kaling dengan tape singkong. Nah, disinilah kisah tentang kolang-kaling yang jadi pengeling-eling agar bersabar dan menahan diri di bulan ramadhan dimulai.

Sore itu kolak kolang-kaling bercampur tapai sudah siap dinikmati saat saya melongok ke dapur. Begitu panci dibuka baunya yang sedap segera merasuki hidung. Terbayang rasanya jika memasuki mulut nanti. Pasti lezat! Pikir saya.

Di luar dugaan kolak kolang-kaling bikinan Bapak itu keras. Saat digigit tak ubahnya batu. Gigi serasa mau rontok saat beradu dengannya! Tak heran sewaktu berbuka Bapak kemudian berkata ,"Kolang-kalingnya keras banget!"

Mula-mula saya tak percaya. Namun menilik mimik Bapak tak urus saya penasaran. Diliputi perasaan itu saya pun mencobanya. Jreeng! Begitu digigit, astaga! Keras nian, seolah beradu dengan batu saja. 

"Weh, ini kolang-kaling apa fosil yang sudah membatu sih? Gini amat!" batin saya.

Mengetahui kalau saya pun merasakan hal serupa dengannya, Bapak tertawa-tawa. Tawanya yang seru segera menulari saya. Jadilah malam itu kami terbahak-bahak membahas kolang-kaling cap batu itu.  Entah apa yang salah, yang jelas kolang-kaling itu jadi sedikit lembek setelah dua hari dipanasi. 

Tak urung peristiwa kocak itu mengingatkan saya pada kultum-kultum ramadhan agar bersabar dan menahan diri di bulan ramadhan. Harapan kecil kami untuk menikmati takjil yang lezat memang musnah, setelah kolang-kaling yang kami masak memilih caranya sendiri untuk menjadi kuat dan tak tertandingi. Sehingga tak mempan saat gigi kami berusaha beradu dengannya. 

Namun, bukan berarti kami boleh menjadikannya alasan untuk meninggikan emosi menghadapi "musibah kecil" ini. Lantas mengomel karena kami sudah mengeluarkan uang untuk membeli bahan-bahan pembuat kolak, yang jika diteruskan akan berujung pada menyalahkan orang lain. Dalam hal ini Pak Sayur selaku penjualnya  karena tak pandai memilih kolang-kaling. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun