Bakuh tak menerima keterlambatan, ia akan melayangkan benda apa saja yang bisa dijangkaunya bila Bulik tak segera datang dan melakukan apa yang diperintahkan. Jika tak berkenan dengan makanan yang terhidang, Bulik segera menerima hadiah berupa bogeman.
Apabila Bulik pergi dan telat pulang, Bakuh pasti menuduhnya yang bukan-bukan. Mulai memiliki 3gendhakan di luar sampai jadi kembang pinggir jalan---yang gemar melambaikan tangan pada pria mana saja. Jika Bulik berani menjawab, Bakuh tak segan memojokkan dengan kalimat kasar dan kepalan.
Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan penganiayaan itu. Hanya terdiam, menahan tangis melihat Bulik menelan jeritnya. Terkadang aku berharap, aku bisa menjelma menjadi raksasa, sehingga bisa memukul balik pria besar yang tega melakukan kekerasan pada istrinya itu.
Keadaan semakin parah waktu krisis moneter datang. Peternakan ayam Bakuh tak bertahan. Harga pakan yang mahal menjadi batu sandungan. Bakuh kehilangan mata pencaharian, sekaligus kebanggaannya selaku pengusaha muda yang sukses. Gabungan keduanya acap membuat Bakuh kehilangan kendali. Jika sudah demikian, Bulik yang ketiban sampur atas segala luapan kemarahan.
"Tak mungkin Bakuh begitu. Aku mengenal Bakuh lebih lama dirimu. Kaulah yang berulah, hingga memancing dia melakukan hal sekasar itu," sanggahnya seraya menggelengkan kepala.
Ipar-iparnya tak jauh berbeda. Mereka menjeling mendengar penuturan Bulik soal kelakuan Bakuh selama ini. "Jangan mengada-ada. Suamimu itu sedang pusing kepala memikirkan usahanya. Bagaimana bisa kau memfitnahnya begitu rupa? Jika tak bisa membantu, jangan merepotkan dia dengan menceritakan hal-hal buruk semacam ini. Tak elok!" ujar salah satu dari mereka, mewakili yang lain.
Kawan-kawannya pun sama saja. Mereka tak percaya jika Bakuh tega berlaku kasar. Selama ini pria itu selalu menampilkan wajah yang menyenangkan. Ramah, baik, dan sopan pada siapa saja. Jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, bisa jadi biangnya adalah Bulik. Bukan dia.
Bulik hanya menghela napas untuk menanggapi ucapan mereka. Tak ada nada keluh atau semacamnya keluar dari mulut mungilnya. Akan tetapi, dari sorot matanya aku bisa membaca kalau ia terluka.
Satu-satunya yang menjadi penghiburan bagi Bulik adalah mendengar lagu lawas milik Ebiet G. Ade, "Seberkas Cinta Yang Sirna", sembari menulis di buku harian. Tentu saja ia tak melakukannya sembarangan. Hanya saat Bakuh pergi, Bulik memiliki keleluasaan.
***