Saya ingat hari ketika saya dihubungi untuk ikut main punk masuk desa. Hari itu saya mengiyakannya. Padahal saya tidak pandai berakting. Lebih gila lagi pada hari H saya berangkat tanpa tahu ceritanya seperti apa. Sampai di lokasi, sebuah lapangan di  dekat sebuah pondok pesantren, saya datang mengenakan baju biasa, sandal japit, dan tanpa dandan pula.Â
Tidak ada gambaran orang hendak syuting film. Bahkan siapa saja pemain yang terlibat di sana pun saya tak bisa menerka. Hanya beberapa saja yang kenal, seperti Faiz, Maliki, Widhi, Dimas, Mola Maulidi, atau Mas Faisal (sutradara) karena mereka relawan rumah literasi di Banyuwangi. Lainnya tidak.
Begitu sampai dan melihat tongkrongannya yang punk abis, yang terpikir hanya satu ,"Apa bisa berbaur dengan mereka?". Faiz, tokoh Kayu, dalam film ini rupanya juga mengalami hal yang sama. Dia sangsi bisakah dia nanti bersosialiasi dengan teman-teman punk ini. Secara kasat mata kami sudah berbeda. Mereka punk dan kami bukan.
Lain cerita ketika akhirnya sutradara berseru "Camera ... action!". Kami seolah lupa soal perbedaan itu. Semua berperan sesuai arahan sutradara. Disuruh serius demo layaknya mereka yang demo betulan, ya ho-oh saja. Disuruh lari-lari demi menggambarkan adegan chaos kala demo pun tidak menolak. Yang diminta naik bukit lalu turun ke bawah sampai diulang dua kali pun iya saja. Jangan tanya soal dahaga, hari itu matahari tengah terik-teriknya.
Masyarakat Indonesia dikenal dengan kebiasaan gotong royongnya. Itu pula yang tercermin di sana. Film ini takkan selesai tanpa gotong royong oleh berbagai pihak. Tidak peduli apa latar belakangnya-apakah dia anggota punk, petani, pemain teater, pemusik, fotografer, pendidik, atau pekerja kantoran, rekan-rekan Rumah Literasi Banyuwangi, pemilik studio dan video, hingga teve lokal Banyuwangi (BanyuwaI TV)- semua turut berperan di sini.Â
Semua saling dukung dalam bentuk apa saja. Ada yang saweran uang untuk beli sekedar makanan dan minuman ringan. Ada pula yang meminjamkan lewat peralatan syuting sekaligus berperan dalam proses editing hingga akhir.
Tidak jarang para pemainnya menemukan keajaiban. Berupa tangan-tangan orang yang menolong tanpa perhitungan. Menyilakan masuk dan memberi makan, begitu saja tanpa diminta. Seperti saat pengambilan gambar di dekat terowongan Kalibaru.
Di Margomulyo, syuting lancar karena dukungan teman-teman di sana. Mereka yang menjadi penghubung dengan masyarakat sekitar, mulai dari pinjam tempat sampai meminta tolong penduduk jadi figuran. Bahkan makan pun disediakan untuk kami yang kelaparan.
Ada pula yang bersedia menampung kami menginap di rumahnya. Membiarkan kami datang dan tidur di sana, sebelum paginya lanjut syuting di seputar pantai Boom, Banyuwangi. Bahkan support dengan mendatangi lokasi syuting dan premier filmnya di aula Disbudpar Banyuwangi 5 Mei silam. Beliau yang kami panggil Tante Prima.
Jika semua bantuan itu dirupiahkan, berapa biaya yang harus dikeluarkan? Pasti jutaan. Di atas kertas semua itu muskil dilakukan jika tanpa penyandang dana. Namun kenyataan berkata film itu mampu diproduksi karena kegotongroyongan semata.