Mohon tunggu...
Afin Yulia
Afin Yulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer, blogger

Gemar membaca, menggambar, dan menulis di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Melongok Rumah Literasi Banyuwangi

19 Juni 2017   10:48 Diperbarui: 19 Juni 2017   18:42 1909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balai desa tempat rumah baca | dok.pribadi

Didirikan tahun 2014, Rumah Literasi Banyuwangi merupakan sekumpulan anak muda yang bergiat, peduli, serta mengampanyekan budaya literasi sekaligus menginisiasi rumah baca di wilayah Banyuwangi. Beragam kegiatan dilakukan oleh komunitas ini untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satunya adalah program Literasik Ramadan.

Ditemui saat berkunjung di Teras Baca Ceria, Dusun Sumbermulyo-Margomulyo Jumat lalu, Nurul Hikmah selaku perwakilan dari komunitas RLB mengatakan kegiatan semacam ini sudah dilakukan dua kali. Pertama, tahun 2014, yang dilakukan di dua titik, yaitu Taman Blambangan dan Pantai Boom. Kedua, Ramadan tahun 2017 dengan tempat yang lebih banyak lagi, kurang lebih dua puluh rumah baca. Dalam penjelasannya, Nurul Hikmah mengatakan program Literasik Ramadan memang memiliki misi khusus. Selain silaturahmi ke berbagai tempat baca yang sudah diinisiasi atau bekerja sama dengan komunitas ini, mereka juga hendak melakukan kampanye literasi melalui pantomim dan dongeng.

Pantomim oleh Adik Marcel di depan anak-anak dusun Sumbermulyo | dok.pribadi
Pantomim oleh Adik Marcel di depan anak-anak dusun Sumbermulyo | dok.pribadi
Bukan tanpa alasan dipilih kedua jenis seni ini. Menurut Nurul Hikmah, pantomim dan dongeng dianggap lebih "mengena" saat berhadapan dengan anak anak. Akan tetapi, tidak hanya lewat media itu kampanye dilakukan. Ada beberapa bentuk lain yang disesuaikan dengan kondisi target literasi atau level pemahaman literasi, contohnya lewat diskusi dan seminar.

Disinggung lebih jauh soal penggunaan seni pantomim dan dongeng, Nurul Hikmah berujar, "Literasi itu dari hobi dan ketertarikan. Kesukaan. Kalo udah jadi kesukaan, distimulus untuk membaca buku "yang dianggap berat" lebih mudah. Jadi, anak anak membaca karena suka. Bukan dipaksa. Apa yang kita lakukan hari ini (lewat pantomim dan dongeng) supaya mereka cinta dulu. Minat dulu. Kalau sudah suka dan cinta, maka budaya baca akan naik level."

Ditanya soal banyaknya rumah baca yang sudah bekerja sama atau diinisiasi oleh komunitas RLB, Nurul Hikmah mengatakan kurang lebih tiga puluhan. Adapun kondisinya, menurut dia masih naik-turun. Namun, ia bersyukur relawan yang menggawanginya masih tetap bersemangat mencari, berbenah, dan terus kreatif meski pada kenyataannya tidak mudah menghidupkan rumah baca.

"Relawan bergerak tak dibayar. Ini murni panggilan hati. Jadi, buat kami ketika rumah baca mengalami kekosongan atau vakum, kami tidak apa-apa. Bagaimanapun juga kondisi individu relawan tidak bisa kita tebak," terangnya lebih lanjut.

"Kami yang di RLB mencoba memberi terus semangat dengan terus bergerak di media sosial. Media sosial itu kekuatan kami," imbuhnya sekejap kemudian.

Balai desa tempat rumah baca | dok.pribadi
Balai desa tempat rumah baca | dok.pribadi
Dengan media sosial, mereka bisa berbagi informasi sekaligus menginspirasi banyak orang. Salah satunya Molla Maulidi, pendiri Teras Baca Ceria di Dusun Sumbermulyo. Molla terinspirasi membuat rumah baca karena melihat kegiatan yang diunggah komunitas RLB di medsos. Awal 2016 ia mulai bergerak dari dusun ke dusun dan memulai proses pendirian Teras Baca Ceria bersama rekan-rekan relawan sedaerahnya.

Soal pergerakan mereka yang lebih banyak menyasar pedesaan dan bukan perkotaan, dengan gamblang Nurul Hikmah menjelaskan bahwa mereka ingin memberdayakan masyarakat desa lewat pengetahuan. "Masyarakat pedesaan masih murni, belum banyak pengaruh dari luar. Sayangnya, fasilitas pengetahuan masih minim. Padahal anak-anak desa yang murni itu memiliki potensi besar yang bisa diberdayakan."

Ia mengatakan lewat buku pengetahuan bisa didapatkan dan akhirnya membentuk pola pikir mereka di depan. Ia lantas mencontohkan rumah baca yang didirikannya. Perlahan namun pasti ia bisa melihat perubahan pola pikir anak-anak di kampungnya. Yang semula cenderung menghakimi dengan pertanyaan "Untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi?", belakangan tidak lagi. Sebagian orang sudah mulai berpikir bahwa pendidikan itu penting.

Dalam kesempatan tersebut, Nurul Hikmah mengatakan bahwa dalam sebuah kampanye literasi, peran serta masyarakat sangatlah penting. Menurutnya menjadikan kegemaran membaca sebagai budaya tidak bisa dilakukan sendirian, harus dilakukan seluruh lapisan masyarakat, seperti halnya yang terjadi di Dusun Sumbermulyo.

Pada akhirnya Nurul Hikmah juga berharap, lewat gerakan semacam ini kelak terlahir manusia dengan karakter kuat---tak lelah belajar sepanjang hayat, tak mudah ikut arus, mampu beradaptasi pada perubahan namun tetap berpegang teguh pada nilai-nilai sosial dan budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun