Mohon tunggu...
Nafiah Khoirunnisa
Nafiah Khoirunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Hola!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kinerja Wapres Gibran: Langkah Progresif atau Gimik Politik?

8 Desember 2024   11:14 Diperbarui: 8 Desember 2024   11:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelantikan GIbran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024 bersama Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru bagi masyarakat. Setiap langkah program kerjanya selalu menjadi pusat perhatian meskipun belum genap 2 bulan menjabat.  Sejak awal perjalanannya untuk melanggengkan kekuasaan dari Wali Kota Solo menjadi Wakil Presiden, Gibran menempuh berbagai langkah kontroversial mulai dari pengubahan syarat wapres oleh paman di MK, cawe-cawe oligarki dari Jokowi, hingga isu politik dinasti. Namun, berbagai pintu penghalang berhasil didobrak dengan sempurna hingga pemilu. 

Setelah resmi menjadi wakil presiden, Gibran nampaknya berusaha keras untuk menunjukkan langkah progresif melalui program kerjanya yang turun ke lapangan atau kerap disebut 'blusukan' dan pembuatan layanan publik berupa "Lapor Mas Wapres". Namun, layanan ini justru menuai berbagai kritik negatif dari masyarakat. Apakah dapat benar bermanfaat dan efektif? dan bagaimana keberlanjutannya?

Munculnya Lapor Mas Wapres ini justru menunjukkan bahwa lemahnya kepercayaan pemimpin atas bawahan atau pekerjanya. Jika diandaikan bahwa seluruh keluhan masyarakat disampaikan pada Lapor Mas Wapres, lalu apa gunanya lembaga legislatif sebagai penampung aspirasi masyarakat. Rasanya berbagai alur dan prosedur yang sudah dibuat secara runut dari tingkat daerah ke nasional menjadi sia-sia dengan adanya gimik aduan layanan ke Lapor Mas Wapres. Seharusnya, hal yang bersifat teknis dapat dilakukan dan difasilitasi dari tingkat daerah. Jika terjadi ketidaksesuaian di tingkat daerah, wapres dapat merevisi pemda untuk memberikan solusi yang lebih komprehensif. Masyarakat menilai lebih tepat jika wakil presiden lebih fokus pada hal-hal strategis dan krusial di skala nasional. 

Belum lagi, layanan ini menuai banyak protes karena kurang responsifnya admin melalui Whatsapp. Setiap harinya Lapor Mas Wapres menampung 50 aduan di Istana Negara sedangkan sebagian keluhan lain dapat disampaikan di Whatsapp. Masyarakat yang merasa tidak dilayani secara online akhirnya berbondong-bondong datang ke istana negara dan berakhir tidak mendapat antrian sehingga menunggu di luar pagar istana. Namun disisi lain, tidak dipungkiri bahwa terdapat masyarakat yang merasa layanan Lapor Mas Wapres dapat menjembatani antara masyarakat dan pemerintah sehingga masalah dapat terselesaikan dengan lebih cepat dan efektif. Oleh karena itu, tentu layanan ini perlu dievaluasi secara berkala dan membuat survey di masyarakat secara lebih luas untuk mengetahui apakah layanan ini dapat terus dilanjutkan atau sebaiknya diakhiri. 

Belum berhenti pada kontroversi layanan publik Lapor Mas Wapres, Gibran kembali menjadi perbincangan hangat setelah melakukan blusukan di lokasi pengungsian korban banjir di Kebon Pala, yang berlokasi di SDN Kampung Melayu 02, Jatinegara, Jakarta Timur. Hal ini karena bantuan sembako yang diberikan telah dikemas pada totebag biru bertuliskan "Bantuan Wapres Gibran". Meskipun selalu dijuluki like father like son, berbagai program yang dilakukan Gibran dirasa kurang kreatif karena hanya menjiplak dari presiden sebelumnya, Joko Widodo. Dinilai gimik dan penuh pencitraan, masyarakat merasa Gibran terlalu menggebu-gebu hingga tidak bisa menyampingkan kepentingan pribadi pada situasi yang seharusnya menunjukkan rasa iba. Belum lagi, dana yang digunakan untuk pemberian sembako ini tidak diklarifikasi oleh staff atau pihak Gibran apakah menggunakan dana APBN atau dana dari wakil presiden itu sendiri. Jika menggunakan dana negara, hal ini tentu tidak etis untuk dilakukan. Masyarakat juga membandingkan dengan pemberian sembako yang pernah diberikan oleh pemerintah Jakarta pada masa pemerintahan salah satu gubernur, yang secara jelas tidak pernah menyebutkan dana bantuan untuk kepentingan pribadi pejabat. Sembako memang sebaiknya dilabeli atas nama pemerintah untuk menunjukkan transparansi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. 

Di masa jabatannya yang baru seumur jagung, meskipun diliputi berbagai kontroversi yang telah dilakukan, masyarakat masih tetap berharap kepada Gibran untuk memberikan aksi yang sepenuhnya condong ke masyarakat tanpa diliputi kepentingan pribadi. Untuk memperbaiki situasi, evaluasi berkala terhadap program yang dijalankan menjadi penting, termasuk peningkatan transparansi dan fokus pada isu-isu strategis berskala nasional. Dengan pendekatan yang lebih terukur, Gibran dapat memanfaatkan masa jabatannya untuk membangun kepercayaan publik dan menunjukkan kepemimpinan yang efektif dan progresif. 

 *) Ditulis oleh Nafi'ah Khoirunnisa' mahasiswa Doktoral Biologi UGM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun