Seharusnya, guru dan siswa adalah orang yang paling akrab dengan buku. Sebab, gambaran utama pendidikan ya buku. Kalau kita mengetik kata kunci "pendidikan" di Google, saya yakin sebagian besar gambar yang muncul adalah buku. Buku adalah roh utama pendidikan. Tempat pengetahuan bersemayam menunggu dipelajari otak-otak brilian para siswa.
Tapi nahas, guru dan siswa dalam pendidikan kita justru menampilkan kondisi sebaliknya. Guru dan siswa di Indonesia justru menjadi kalangan yang paling asing dengan buku.
Mungkin banyak yang berpikir bahwa jadi guru pasti seru. Sebab, selain bisa mengajar, guru tetap bisa menambah wawasan belajar dengan banyak membaca buku.
Sayangnya, hal tersebut hanya menjadi angan belaka. Lingkungan kerja sebagai guru tidak cukup menjadi ruang untuk menuntut atau mengarahkan guru pada ekosistem budaya membaca. Kenyataannya, justru mengarah pada lingkungan yang gila administrasi. Segala sesuatu harus didokumentasikan secara administratif.
Kalau gurunya saja nggak sempat baca buku, apalagi siswanya. Barangkali, kesibukan guru memang lebih padat daripada siswa. Kalau guru yang asumsinya punya kesadaran belajar dan berpengetahuan tinggi saja merasa nggak sempat baca buku, gimana dengan siswa?
Para siswa SMA belajar 16-18 mata pelajaran dalam seminggu. Sudah sekolahnya sampai jam 3 sore, masih dibebani tugas rumah pula. Jelas habis sudah energi untuk sekadar membuka halaman pertama buku bacaan. Kandas sudah literasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H