Proses membangun fasilitatif pasti akan menentukan keefektifan dan keberhasilan kegiatan bimibngan konseling oleh karena itu wajib hukumnya bagi setiap konselor untuk bisa memahami strategi-strategi dan langkah jitu dalam mebangun kondisi fasilitatif dalam konseling sebagaiman yang telah  dikatakan oleh Carl Rogers (1983) Membangun kondisi fasilitatif dalam  konseling merupakan salah satu strategi untuk mengembangkan suasana hubungan yang dapat memberikan rasa aman, kepercayaan dan membangkitkan keinginan konseli untuk mengutarakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya secara bebas. Â
Strategi ini harus hadir dan harus tercipta dalam proses konseling yang efektif, sehingga setiap keterampilan konseling yang dilakukan diharapkan dapat mencapai perubahan emosional, pengetahuan dan tingkah laku konseli. Disini saya mengutip pengertian yang diungkapkan oleh Carl Rogers (1983) beliau mengatakan bahwa membangun dan menciptakan kondisi fasilitatif dalam komunikasi konseling ada tiga sikap yang harus diperhatikan oleh konselor, yaitu empati, unconditioning positive regard, dan guinenes. Sebagaiamana penjelasan singkat mengenai ketiga sikap dibawah ini:
Sikap pertama konselor dalam kaitannya dengan empaty adalah  peka , mengerti, memahami secara akurat terhadap pengalaman dan perasaan konseli. Pengalaman dan perasaan-perasaan tersebut ditampilkan selama melakukan komunikasi dan interaksi pada saat konseling berlangsung. Konselor dalam hal ini berusaha keras untuk melihat, memahami secara mendalam tentang pengalaman subjektif konseli, terutama pengalaman sekarang. Konsep ini dimaksudkan bahwa konselor memahami perasaan-perasaan konseli seakan-akan perasaan tersebut adalah perasaannya sendiri, tetapi tidak "tenggelam" di dalamnya. Hal ini penting untuk dimengerti oleh konselor bahwa tingkat tinggi dari empati yang akurat bisa melampaui pengenalan terhadap perasaan-perasaan yang dalam.  Â
Sikap kedua menurut Carl Rogers dalam Gerald Corey (1988: 93) adalah keselarasan atau kesejatian (guinenes). Keselarasan mengisaratkan bahwa konselor harus tampil secara realistis artinya sejati, murni, terintegrasi, dan otentik selama konseling berlangsung. Â Disini Konselor tampil dalam arena konseling tanpa kepalsuan diri dan kepura-puraan, pengalaman batin dan ekspresinya sesuai dengan kenyataan luar dalam, secara terbuka mengungkapkan perasaannya dan sikap-sikap yang muncul dalam hubungannya dengan konseli. Konselor yang otentik bersikap spontan dan terbuka dalam menyatakan perasaannya dan sikap - sikapnya yang ada pada dirinya baik yang negatif maupun yang positif. Â
Sikap ketiga yang perlu diberikan oleh konselor kepada konseli adalah perhatian yang mendalam dan tulus dan ikhlas serta penuh perhatian. Perhatian yang dimaksud adalah perhatian tak bersyarat yaitu konselor tidak mencapuri dengan unsur-unsur yang bersifat evaluatif atau penilaian terhadap perasaan-perasaan, pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang bersifat baik dan buruk.Â
Konselor menerima konseli secara hangat tanpa menaruh persyaratan-persyaratan tertentu pada saat menerima konseli. Konsep perhatian positif tak bersyarat tidak menyiratkan ciri tertentu atau "ada atau tiada sama sekali". Seperti keselarasan, perhatian positif tak bersyarat adalah suatu unsur yang berada pada proses yang terus menerus harus dibangun di dalam proses konseling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H