Oleh: Muhammad afif Syairozi*
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan, pedoman dan aturan dalam  penyelenggaraan suatu Negara. Wujud dari konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis dan tidak tertulis. Wujud konstitusi yang tertulis kemudian lazim disebut sebagai Undang-Undang Dasar (UUD). Sedangkan contoh dari wujud tidak tertulis adalah penerapan konstitusi dari Kerajaan Inggris (United  Kingdom). Hingga hari ini, Kerajaan Inggris tidak pempunya UUD. Walaupun demikian, sama sekali tidak ada yang meragukan bahwa Inggris adalah negara konstitusional.
Konstitusi tertulis yang sebagai mana kita fahami berwujud Undang-Undang Dasar adalah perwujutan dari kristalisasi atau pembekuan suasana kebatinan kondisi masyarakat, yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis, politis dan historis perumusan suatu ketentuan Undang-Undang Dasar Negara. Begitu juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 merupakan penjelmaan dari suasana kebatinan masyarakat Indonesia sekaligus sebagai perwujutan kepribadian masyarakat Indonesia.
Hasil karya agung dari para pendiri bangsa ini adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945. Keduanya disusun menggunakan hati nurani yang sangat suci. Ketulusan hati,mengenyampingkan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok dengan mengedepankan kepentingan bersama atau mewujudkan cinta-cita proklamasi yaitu Indonesia yang adil dan makmur menjadi dasar perumusan karya agung tersebut.
Perkembangan UUD NRI tahun 1945 cukup menarik untuk di cermati. Sejak satu hari setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia, UUD NRI tahun 1945 di sahkan dan secara otomatis menjadi dasar aturan penyelenggaraan Negara. Kemudian pada tahun 1949 UUD NRI tahun 1945 berganti menjadi UUD RIS (republic Indonesia Serikat) atau Konstitusi RIS dan berselang satu tahun yakni pada tanggal 17 Agustus tahun 1950 berganti lagi menjadi UUD Sementara. Amanat UUD Sementara pasa 133 mengamanatkan dilaksanakan pemilian umum untuk memili anggota konstituante, dan sebagai hasilnya pada tanggal 10 November 1958 di Bandung Diresmikanlah Konstituante.
Konstituante bertugas menyusun dan menyempurnkan UUD Negara yang sesuai dengan jatih diri bangsa Indonesia dan hasilnya diharapkan lebih baik dari UUD sebelumnya. Namun Konstituante yang telah bersidang selama kurang lebih dua setengah tahun belum dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka mengakibatkan situasi di tanah air tidak stabil sehingga dikhwatirkan akan timbul perpecaan. Kegagalan Konstituante ini disebabkan karena banyak perdebatan tentang idiologi-idiologi yang berkembang pada masa itu dan terlalu memaksakan idiologi ini yang harus menang dan sebaliknya. Selain masalah subtansi tersebut masalah teknis juga mempengarui kegagalan tugas Konstituante. Selama bersidang tidak perna mencapai quorum 2/3 dari jumlah anggota seperti yang diharapkan.
Keadaan tersebut dan situasi tanah air pada waktu itu tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan pembangunan Negara. Maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk memberlakukan kembali UUD NRI tahun 1945 yang asli.
Setelah kurun waktu dari tahun 1959 sampai 1998, UUD NRI tidak mengalami perubahan. Baru tahun 1999 sampai 2002 atau dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, UUD NRI diamandeman sebanyak empat kali.Perubahan ini sangat mengejutkan dan luar biasa, dalam waktu yang sesingkat itu dapat merubah UUD Negara empat kali. Padahal Konstituante dalam kurun waktu sama, 3 tahun tidak dapat menghasilkan keputusan yang bulat.
Perubahan ini disinyalir atau diduga sebagai desain dari Neagara Asing, yang ingin menjajah bangsa Indonesia melalui system yang legal atau dengan kata lain penjajahan modern. Negara asing ingin mengambil dan menikmati sumber daya alam bangsa Indonesia. Tuduan ini bukan tanpa alsan, salah satu bukti adalah perubahan UUD ke empat tidak di daftarkan ke lembar Negara. Belum lagi secara subtansi banyak pasal-pasal yang bertentangan dengan jatih diri bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan dan gotong royong bukan individualism dan kapitalisme.
Hasil amandeman atau perubahan UUD NRI tahun 19945yang ke empat, ber-imbas juga kepada sistem ketata negaraan bangsa Indonesia. Hasil perubahan UUD yang ke empat mensejajarkan lembaga MPR, Presiden, DPR, BPK dan MA menjadi Lembaga Negara. Jika pada UUD NRI tahun 1945 yang asli atau sebelum amandeman Lembaga tertinggi Negara adalah MPR kemudian Presiden, DPR, MA dan MA sebagai Lembaga Negara. MPR di posisikan sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia, yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat dan memberhentikan presiden dan wakil presiden karena anggotanya benar-benar representasi perwakilan rakyat yaitu terdiri dari DPR, Utusan Golongan dan Utusan Daerah. MPR sekaligus sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Maka pada UUD NRI tahun 1945 hasil amandeman ke empat Negara tidak mempunyai pemimpin karena semua lembaga Negara disejajarkan. Ketatanegaraan ini akan merusak harmonisasi antar lembaga Negara, karena semua lembaga Negara akan berlombah-lombah menjadi yang paling berkuasa dan merasa paling kuat sehingga semua lembaga merasa layak menjadi pemimpin.
Oleh karena itu, penulis merekomendasikan untuk menyelesaikan persoalan problematika Negara Indonesia tidak lain dan tidak bukan dengan jalan kembali lagi ke UUD NRI tahun 1945 yang asli atau sebelum amandeman. Kekacauan ketatanegaraan, ketidak harmonisasian antar Lembaga Negara, dan Korupsi hanya dapat di selesaikan jika Negara Indonesia mempunyai Pemimpin. Sehingga ada yang mengarahkan dengan jelas tujuan bangsa Indonesia sesuai proklamasi yaitu Indonesia adil dan makur.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Dr Soetomo Surabaya, Komisaris Komisariat GMNI UNITOMO, dan Sekretaris Jendral Forum Advokasi Mahasiswa (FAM) Universitas Dr Soetomo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H