Sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, sebagai tanda bahwa Negara Indonesia sudah bebas dari penjajahan negara-negara lain. Pada saat itulah Negara Indonesia bebas untuk menentukan arah, tujuan dan cita-cita sendiri tanpa tekanan dari pihak manapun. Kemerdekaan direbut dengan kesadaran bahwa setelah Indonesia merdeka kondisi rakyat semakin baik dari kondisi sebelumnya, kesejahteraan dan keamanan rakyat Indonesia menjadi dapat terjamin.
Kenyakinan tersebut ternyata belum sesuai dengan kenyataan yang diharapkan. Kondisi bangsa Indonesia setelah merdeka tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan singnifikan atau perubahan secara cepat seusai harapan yaitu masyarakat adil dan makmur. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin masih sangat besar. Orang miskin lebih banyak dari pada orang kaya.
Kondisi masyarakat makin parah setelah rezim Orde Baru tumbang berganti menjadi zaman Reformasi. Orde Baru saat itu dianggap terlalu otoriter dan penyelenggaraan pemerintah penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga harus ditumbangkan. Setelah orde baru tumbang berganti menjadi masa Reformasi UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 di Amandeman sebanyak empat kali. Salah satu hasil Amandeman ke empat adalah dihapuskannya tentang adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah haluan Negara tentang penyelenggaraan Negara dalam garis-garis besar sebagai peryataan kehendak rakyat secara menyeluru dan terpadu yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk lima tahun guna mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Dihapuskannya pasal tentang kewajiban penyusuanan GBHN berimplikasi bahwa Negara tidak lagi mempunyai tujuan yang jelas dan terpadu dari periode ke periode. Setiap pergantian presiden akan berubah arah dan tujuannya, visi misinya pun berubah, bahkan kebijakan strategisnya pun berubah-berubah. Ketidak teraturan tujuan ini yang mengakibatkan cita-cita proklamasi makin jauh dari harapan.
Masalah selanjutnya dari penghapusan pasal di UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 tentang GBHN, adalah yang menjadi penentu tujuan dan cita-cita Negara tidak lagi rakyat namun partai politik atau kelompok-kelompok tertentu. Jika sebelum Amandeman UUD NRI tahun 1945 penyusunan GBHN dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan dari rakyat Indonesia, maka sekarang penyusunan tujuan negara dilakukan oleh pemerintah melalui RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dengan perencanaan skala waktu 5 tahun. Pemerintah tidak dapat dikatankan sebagai penjelmaan rakyat, karena yang menjadi pejabat pemerintah adalah berlatar belakang politik, akademisi, tokoh agama, dan lain-lain, mereka mewakili pribadi-pribidai maupun kelompok. Berbeda dengan MPR yang anggotanya terdiri dari DPR, Utuan Golongan dan Utusan Daerah. Lembaga ini lebih tepat dikatakan sebagi penjelmaan rakyat.
Ketidak jelasan tujuan Negara harus di akhiri untuk mewujudkan cita-cita proklamasi dan sebagai bentuk iktikat yang sunggu-sunggu dalam menjalalankan Negara. Cita-cita proklamasi adalah terwujudnya masyarakat yang merdeka, bersatu, adil dan makmur.
Oleh karena itu jalan yang harus ditempu oleh Negara mengatasai problem tersebut yaitu harus kembali ke UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang asli. Sebab dengan itu maka Negara akan menemukan jati dirinya lagi yang sesungunya dan akan mempunyai tujuan yang jelas dan terpadu dari hasil penerjemaan suasana kebatinan rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H