Revolusi teknologi telah membawa umat manusia ke puncak peradaban yang gemilang. Namun, penting untuk merenungkan kembali hasil timbal balik dari kemajuan ini. Transformasi teknologi yang masif mendorong semua sektor kehidupan menuju era disrupsi, mengubah sistem dan tatanan fundamental hidup manusia, serta membuka tantangan dan peluang baru. Akses terhadap teknologi berusaha memampatkan jarak antarindividu yang terglobalisasi melalui media sosial sebagai jembatan informasi dan komunikasi. Menurut data dari Kominfo, sekitar 80% anak-anak dan remaja adalah pengguna internet, dan media digital menjadi saluran komunikasi utama.
Perubahan media komunikasi tidak hanya mengubah cara individu berinteraksi dengan lingkungan, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental. Media sosial memiliki dampak positif dalam meningkatkan konektivitas, harga diri, dan rasa memiliki. Namun, penggunaan berlebihan dapat menyebabkan stres, perbandingan sosial, dan isolasi. Data dari International Journal of Adolescent Health menunjukkan rata-rata orang menghabiskan 2,3 jam per hari di media sosial, terutama remaja sebagai pelaku utama. Hal ini menunjukkan bahwa ada aspek persepsi yang berperan dalam gangguan mental yang dialami individu, sehingga penting mengetahui dari mana dan dampak apa yang dihasilkan oleh sumber pembentuk persepsi bagi individu.
Dampak Media Sosial terhadap Kesehatan Mental
Media sosial sebagai alat informasi sering kali menyebabkan banjir informasi sehingga tidak semuanya tersaring dengan baik. Hal ini dapat menimbulkan hoaks, prasangka, dan kejahatan siber. Selain itu, media sosial telah berkembang menjadi alat propaganda atau bahkan penentu kebijakan politik yang memengaruhi kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental. Mengadopsi kebutuhan dalam kelembagaan yang lebih besar memiliki dampak penting dalam perencanaan kebijakan. Menyadarkan lembaga otoritas tentang pentingnya kesehatan mental merupakan langkah awal menuju tujuan yang lebih besar.
Pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 melanda, media sosial menjadi satu-satunya harapan untuk tetap terkoneksi dengan dunia luar. Namun, media sosial juga membawa masalah. Banyak orang menggunakan media sosial sebagai sumber informasi utama, yang dapat meningkatkan gejala depresi, kecemasan, dan stres. Menurut Phalswal (2023) dalam Journal of Social Media and Mental Health, gejala depresi meningkat menjadi 48,3%, kecemasan menjadi 47,82%, dan prevalensi stres menjadi 37,67% setelah terpapar berita COVID-19 di media sosial.
Pemberitaan negatif turut membentuk persepsi negatif yang menyebabkan masalah sosio-emosional. Media sosial dapat merekonstruksi persepsi individu dalam meningkatkan kesadaran kesehatan mental. Selain itu, kecemasan berlebih dapat disebabkan oleh persepsi negatif akibat keterpaparan media sosial sehingga memperburuk kondisi mental seseorang.
Peran Media dalam Membentuk Persepsi Generasi Muda
Menurut Hypodermic Needle Theory, media berperan aktif dalam membentuk persepsi masyarakat melalui informasi yang tepat sasaran. Masyarakat sering kali menerima informasi secara pasif dan tidak sadar bahwa mereka telah dipengaruhi informasi yang diterima tanpa pertimbangan. Persepsi individu yang terkonstruksi dapat menyebabkan gangguan mental.
Setiap aspek kehidupan pada dasarnya terhubung satu sama lain. Dimensi eksternal individu secara tidak langsung juga memengaruhi kesadaran mengenai kesehatan mental serta membentuk persepsi individu dengan media sebagai penghubung. Kebijakan politik, misalnya, ikut membentuk peningkatan kesadaran pentingnya kesehatan mental melalui pembuatan kebijakan. Dengan menyadarkan lebih dahulu kepada lembaga otoritas, kebijakan yang dibuat turut menjadi tolak pangkal untuk mengembangkan kesadaran pentingnya kesehatan mental.Â
Kembali lagi, media tidak hanya menjadi jembatan informasi, tetapi sekaligus juga sebagai alat untuk perencanaan kebijakan serta propaganda yang ampuh mengubah persepsi individu. Sebagai masyarakat terutama generasi muda punya peran besar untuk mendesak kebutuhan pentingnya kesehatan mental pada lembaga pemangku kebijakan, mendorong terbentuknya kelembagaan yang lebih inklusif.Â
Psikologi Optimal dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan