Mohon tunggu...
Afifi Hasbunallah
Afifi Hasbunallah Mohon Tunggu... Guru - -

"Berpikir Kritis dan Humanis Menembus Dimensi Takdir"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pokemon Go dan Paradoks Zeno

20 Juli 2016   03:31 Diperbarui: 20 Juli 2016   04:06 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Game Pokemon Go yang baru dirilis oleh Nintendo beberapa minggu lalu telah mampu mencuri perhatian netizen. Hal itu terlihat dari banyaknya obrolan serta guyonan terkait Pokemon Go, baik pro maupun kontra, di berbagai linimasa sosial media, tak terkecuali di Indonesia. Game berbasis augmented-reality ini mengajak para pemainnya untuk berburu, mengoleksi sekaligus melatih Pokemon. Dalam game tersebut, untuk mendapatkan lebih banyak Pokemon, para pemain diharuskan berpindah tempat, berlari kesana-kemari karena Pokemon dibuat seakan bersembunyi di lokasi-lokasi tertentu, secara virtual, di dunia nyata.

Berbicara mengenai Pokemon Go yang mengharuskan pemainnya untuk berlari kesana-kemari, mengingatkan kita pada sebuah paradoks yang muncul sebelum Masehi di Yunani, Paradoks Zeno, dengan Achilles dan kura-kura sebagai pemeran utamanya. Sebuah paradoks yang terkenal dalam sejarah Yunani dan matematika. Paradoks yang terkesan mudah, namun dibutuhkan waktu ribuan tahun sebelum matematikawan untuk memecahkan sekaligus menjelaskannya.

Dalam paradoks tersebut dikatakan bahwa pelari tercepat (A) tidak akan bisa mendahului pelari yang lebih lambat (B). Hal ini terjadi, dengan kondisi bahwa pelari B melakukan start terlebih dahulu, karena pelari A harus terlebih dahulu berada pada titik dimana pelari B ‘memulai’, sedangkan dia (pelari B) sudah meninggalkan (berada didepan) titik tersebut.

Zeno menganalogikan paradoks ini dengan membayangkan lomba lari antara Achilles dan kura-kura. Dimana keduanya dianggap berlari dengan kecepatan konstan dan dengan kenyataan bahwa kura-kura berlari lebih lambat dari Achilles. Kura-kura, karena dianggap lambat dalam hal berlari, diberi keuntungan untuk melakukan start terlebih dahulu.

Achilles yang mengambil start belakangan, dalam waktu yang singkat, dapat menempuh setengah dari jarak yang memisahkannya dengan kura-kura. Sedetik kemudian, 3/4 jarak, kemudian 7/8, kemudian 15/16. Namun tak peduli seberapa pun cepatnya Achilles berlari, selalu menyisakan sedikit jarak antara dirinya dan kura-kura. Bahkan akhirnya dikatakan bahwa Achilles dengan kemampuan berlarinya tidak pernah mampu menyusul kura-kura yang berlari jauh lebih lambat.

Achilles dan kura-kura adalah contoh klasik yang biasa digunakan untuk mengilustrasikan Paradoks Zeno, atau diistilahkan sebagai ‘The Dichotomy’, yang menolak kemungkinan semua gerak. Artinya, suatu jarak, antara Achilles dan kura-kura diatas, yang harus dilewati oleh objek dapat dibagi dua (1/2, 1/4, 1/8, dan seterusnya), atau dibagi kedalam jumlah segmen ruang yang tak terhingga, dimana masing-masing melambangkan suatu jarak yang harus ditempuh.

Hasilnya, Zeno berpendapat bahwa gerak tidak bisa diselesaikan karena akan selalu tersisa suatu jarak, tak peduli betapa pun pendeknya. Dimana keberatan Zeno terhadap ide gerak lebih berasal dari keharusan jumlah aksi tak terhingga, melintasi interval, dapat dijelaskan dan dapat diselesaikan secara bersambung.

Ya, seperti itu juga Pokemon Go. Para pemain akan selalu mengejar Pokemon tanpa akhir, dimana ujungnya sudah dapat ditebak, hal tersebut tidak dapat dilakukan. Akan selalu menyisakan jarak antara Pokemon dan para pemainnya. Seperti halnya Achilles yang dikatakan Zeno tidak berhasil mengejar kura-kura, bukan karena kura-kura dapat berlari lebih cepat, tetapi lebih karena jarak antara Achilles dan kura-kura tidak terhingga dan tidak akan dapat diselesaikan.

Mencari dan mencari adalah jarak, seperti yang dikatakan Zeno, yang akan selalu tersisa dalam Pokemon Go. Seberapa pun gigihnya usaha ‘mencari’, para pemain akan kembali ‘mencari’. Hanya saja, dalam hal Pokemon Go bukan mengenai gerak, jarak dan ketakhinggaan.

Namun lebih kepada sifat dari manusia dan juga game itu sendiri. Yang pertama tidak akan pernah merasa puas dan yang disebutkan terakhir pun memang sengaja diciptakan untuk tidak memenuhi rasa puas manusia, meski pun hanya sebuah game. Jarak antara game dan kepuasan tidak akan pernah ‘terselesaikan’, meski pun harus dilakukan dengan berlari kesana-kemari.

Dan atas dasar pemenuhan hasrat kepuasan tersebut, maka menjadi hal yang wajar apabila Pokemon Go pun dapat membingungkan, seperti halnya Paradoks Zeno yang tetap dalam ‘kebingungan’ selama ribuan tahun, karena bagaimanapun, secara filosofis, game yang menarik adalah game yang sulit, kalau tidak dikatakan sebagai hal yang mustahil, untuk diselesaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun