Sinar matahari hangat menghantam wajah kami di teras rumah dengan sisa-sisa embun yang sengaja malam tinggalkan. Aku menatapnya masih dihantui rasa tidak percaya, dia menyematkan cincin cantik dengan kalimat sakral di jari manisku. Dia hanya tersenyum menatapku dengan tatapan yang tak kalah menghangatkan dari mata sipit yang semakin tak terlihat saat senyumnya mulai mengembang.
Sesekali aku mencuri pandang dan bergumam apakah ini adalah jawaban dari Amin yang setiapa malam aku dengungkan? Ya PASTI, jawabku pada otak yang terus mengajakku berpikir keras. Sebab lelaki yang kini duduk dengan bahu yang dia haturkan untuk menampung keluh kesahku.
"Suga-shi, apa kau benar-benar mencintaiku?" Aku bertanya tanpa ragu, namun entah kenapa suara berat yang tadi aku dengar berubah. Suara yang tidak asing aku dengar juga aroma tubuh yang dibaluti kepulan asap ikan asin, "Haluu terooos, sampe kebawa mimpiii, bangun udah siang bukan bantuin emak di dapur, Suga Suga Suga muuuulu" mataku sigap terbuka dan ah hanya mimpi belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H