Ulama' yang tergabung dalam Lembaga Ulama' saat ini seakan telah melupakan makna dan hakikat Ulama' itu sendiri. MUI sendiri kerapkali diduga bertindak melampaui batas bahkan cenderung menjadi lembaga penegak hukum. Teramat banyak fatwa sesat terhadap suatu kelompok masyarakat sekalipun tanpa adanya proses pengadilan. Fatwa sesat yang dikeluarkan oleh MUI teramat sering digunakan landasan oleh masyarakat untuk menuduhkan bahkan menghakimi kelompok yang difatwakan sesat. Bahkan saat ini MUI kembali didesak oleh masyarakat untuk mengeluarkan fatwa sesat terhadap Saudara Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al-Zaytun.
Ulama' Nusantara dan Kharismatik yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) telah lama mengingatkan hal ini didalam karyanya. Hamka menjelaskan kembali apa hakikat sejati daripada ulama', tak lupa bahkan Hamka menceritakan bagaimana rusaknya agama terdahulu sebelum Islam hadir. Marilah kita melihat Qs. At-Taubah : 31 disandingkan dengan tafsir Al-Azhar.
اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (Qs. At-Taubah : 31)
Suatu ketika tatkala Rasulullah membaca ayat ini, datanglah seorang nasrani 'Adi bin Hathim menemui rasulullah, 'Adi bin Hathim menyanggah "Tidaklah pernah kami menuhankan mereka", Rasulullah pun menjawab "Memang, bahkan Pendeta-Pendeta mengharamkan apa yang Allah halalkan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan namun kalian ikuti saja itulah yang dinamakan kalian mengibadati mereka".
Nasrani menuhankan pendeta yang sampai diibadati sebagai mengibadati Allah, memang tidak ada. Tetapi mereka telah menerima apa yang telah diatur dan disusun oleh pendeta-pendeta itu sebagai perintah yang luhur dan kudus, sekali-kali tidak boleh dibantah, sehingga samalah perintah itu dengan perintah Tuhan sendiri. Sesuatu yang mereka katakan haram, meskipun halal kata Allah, maka yang dikatakan oleh pendeta itulah yang benar. Demikian juga yang haram kata Allah, kalau pendeta mengatakan halal, menjadi halallah dia.[1]
Penyakit yang dialami oleh Yahudi dan Nasrani menjalar terhadap ummat Islam itu sendiri. Pada saat ini ummat Islam yang ingin mencoba mentafsirkan Kitab Suci nya di persulit bahkan tidak dibolehkan jika tidak memiliki ilmunya. Bahkan lebih dari itu dibuatlah suatu aturan-aturan untuk dapat menafsirkan, padahal jauh daripada itu tidak pernah aturan demikian di perintahkan oleh Allah dan Rasulnya. Sebagaimana pengingat dari Rasulullah, bahwa kelakuan orang Yahudi dan Nasrani sedikit demi sedikit akan engkau ikuti.
Pengingat ini menjadi kenyataan, bahkan yang mengikuti terlebih dahulu adalah golongan orang yang dipanggil 'alim dan ulama'. Perlu dipertegas bahwa ulama' menurut Hamka adalah ialah orang berilmu. "Hanya tradisi buatan manusia yang mempersempit daerah itu. Sekali-kali tidaklah ada agama memberikan hak kepada seorang ulama buat memaksa orang banyak supaya tunduk saja kepada yang beliau tentukan".[2] Bahkan ulama' pada masa kejayaan Islam tidak pernah berani menghukumi halal ataupun haram pada sesuatu yang bersandarkan pada dalil Zhanni.
Sejatinya penentuan halal ataupun haram adalah hak mutlak Allah Swt. Adapun selain itu yang tidak ada Nashnya yang shorih, termasuklah dia ke dalam masalah ijtihadiyah, masalah Fiqh dan pemikiran Ulama, yang kadang-kadang tepat mencatat kebenaran atau mendekatinya, dan kadang-kadang terdapat kekhilafan.[3]
Hamka kembali menegaskan.
Apatah lagi orang yang datang di belakang, yang karena telah dipanggilkan orang bahwa dia orang'Alim, ahli agama, berani-berani saja membuat hukum Wajib atau Haram, pada perkara yang tidak ada Nashnya dari al-Quran atau Hadis yang shahih, yang hanya timbul dari pertimbangannya sendiri, yang tidak ma'shum daripada salah, maka orang itu telah mulai membelokkan kedudukan Ulama Islam ke dalam kependetaan cara Nasrani, dan telah menutup pintu bagi orang lain yang diberi Allah kepadanya kesempatan buat turut memikirkan agama, sehingga mereka beragama dengan sadar.[4]
Pernyataan Hamka demikian dapat kita ambil berbagai kesimpulan diantaranya :
- Pertama, bahwa Islam tidak pernah mengenal istilah kependetaan ataupun sejenisnya, yang memiliki hak penuh atas agama Islam, bahkan ia ditunggu-tunggu untuk mengeluarkan fatwa. Tegas Hamka kembali "Golongan yang disebut ulama, tidaklah diberi hak menguasai agama. Tidak ada satu kasta yang semata-mata hanya mengurus agama dan orang banyak menunggu keputusan dari beliau".[5]
- Kedua, ulama' atau ahli agama dalam Islam hanyalah suatu kelebihan dan tidak lebih dari itu, sudah jelas diatas bahwa arti ulama' adalah orang berilmu. Adapun hadits nabi yang menyatakan bahwa "Ulama' adalah pewaris nabi", bukan berarti ia mewarisi hak sebagaimana nabi yang mampu mengeluarkan hukum halal haram, ataupun sesat tidak menyesatkan. Jika hadits "Ulama' adalah pewaris nabi" dipertahankan sedemikian rupa hingga mengakibatkan golongan tertentu yang dapat menguasai agama, sejatinya ia telah keluar dari hadits nabi dan berpindah makna menjadi "Ulama' adalah pewaris kependetaan Yahudi dan Nasrani". Hal ini dikarenakan mereka telah mengambil hak Allah dan Rasulnya dalam menentukan suatu hukum.
- Ketiga, Islam adalah agama akal hingga kiranya tidak diperkenankan dalam Islam seorang Ulama' mengebiri akal manusia. Manusia harus beragama dengan kesadaran bukan dengan paksaan. Tegas Hamka lebih lagi "Hakikat ahli agama didalam Islam ialah ahli pikir itu. Tidaklah pernah Islam menyuruh mengadakan suatu panitia untuk menyiasati kalau-kalau ada pikiran baru yang berbeda dengan pikiran kaum agama".[6]
Berdasarkan pernyataan demikian, sudah sepatutnya Ummat Islam kembali pada hakikat Islam itu sendiri. Dan sudah sepantasnya seorang Ulama' insyaf bahwa dirinya tidaklah ma'shum daripada segala dosa sehingga dia tiada hak mengeluarkan fatwa halal haram pada sesuatu yang tiada dalil shahihnya dan qath'i. Adapun menyikapi perbedaan dalam pandangan, sudah seharusnya seorang Ulama' terlebih lagi yang tergabung dalam Majelis Ulama' ataupun perkumpulan Ulama' tidak melakukan siasat ataupun penyelidikan dengan tujuan memberantas pandangan yang berbeda dari mereka. Karena Islam sendiri tiada pernah memerintahkan hal itu. Perlu dipertegas ISLAM BUKAN AGAMA KEPENDETAAN ATAUPUN ULAMA' TAPI ISLAM ADALAH AGAMA BAGI SEMUANYA, hingga maktublah pernyataan "Islam Rahmatun lil 'Alamin".
---------------------------
[1] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD, 2003), hal. 2927
[2] Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, (Jakarta : Gema Insani, 2018), hal. 155
[3] Hamka, Tafsir al-Azhar, hal. 2933
[4] Hamka, Tafsir al-Azhar, hal. 2934
[5] Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.155
[6] Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.157
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H