Pondok Pesantren Al-Zaytun tengah menjadi perbincangan masyarakat saat ini. Pasalnya diduga menyebarkan paham sesat dan bertentangan syariat Islam. Tuduhan demikian dilontarkan ketika Pondok Pesantren Al-Zaytun menyebarluaskan video rekaman sholat Ied, yang menampilkan shaf laki-laki dan perempuan bercampur.
Tidak hanya itu, berbagai perbedaan dalam furu’iyyah oleh Al- Zaytun entah bagaimana caranya dapat tersebar luas dimasyarakat umum hingga menimbulkan perdebatan sampai dengan tuduhan dan hinaan kepada Saudara Panji Gumilang dan Al-Zaytun.
MUI sendiri sebagai organisasi masyarakat hingga turun tangan akibat desakan masyarakat. Pondok Pesantren Al-Zaytun didesak untuk ditutup, bahkan juru bicara Kementrian Agama menyatakan “Jika Al-Zaytun melakukan pelanggaran berat, menyebarkan paham keagamaan yang diduga sesat, maka kami bisa membekukan nomor statistik dan tanda daftar pesantren, termasuk izin madrasahnya,” kata Anna Hasbie dalam keterangannya, dilansir dari laman Tempo.co(27/06/2023).
Tuduhan terhadap Al-Zaytun :
- Penyebar Faham Kesesatan Islam
Pertama, bercampurnya shaf sholat perempuan dan laki-laki. Kedua, Saudara Panji Gumilang bermazhab Soekarno. Ketiga, rencana Saudara Panji Gumilang untuk menghadirkan khatib perempuan dalam sholat Jum’at. Keempat, Al-Qur’an adalah kalam Nabi Muhammad Saw. bukan kalam Allah Swt dilansir dari bbc.com(28/06/2023).
- Berafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII)
Dugaan ini berasal dari pernyataan Ken Setiawan mantan anggota NII Komandemen Wilayah 9 (NII-KW9), dilansir dari bbc.com(28/06/2023).
Polemik Al-Zaytun dalam Pandangan Hukum
Pondok Pesantren Al-Zaytun mengalami desakan dari berbagai masyarakat untuk dibekukan izinnya, hingga adanya aksi demonstrasi dari masyarakat. Sejatinya Pondok Pesantren Al-Zaytun tidak berhak untuk dicabut izinnya ataupun dilakukan penutupan. Hal ini dikarenakan melanggar hak asasi manusia sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat 1.
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran…..”.
Dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1, yang menyatakan bahwa.
“Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”.
Bagaimanapun besarnya desakan masyarakat dalam persoalan ini pemerintah harus tegas dengan menyatakan sikap bahwa Pondok Pesantren Al Zaytun masuk kedalam bagian dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren.
Saudara Panji Gumilang dituduhkan berbagai hinaan bahkan kata sesat daripada masyarakat. Dalam hal ini seharusnya tidak boleh ada dalam negara hukum, sebagaimana dalam hukum dikenal asas praduga tidak bersalah dimana menyatakan bahwa "Seorang dinyatakan bersalah jika sudah ada putusan pengadilan yang mengikat". Perbedaan pandangan oleh Saudara Panji Gumilang sendiri di amini oleh Undang-Undang Dasar, bahkan dibenarkan jika Saudara Panji Gumilang memiliki pandangan yang berbeda. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat 2 dan 3, menyebutkan.
“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat harus kembali hadir melindungi hak dan kebebasan daripada Saudara Panji Gumilang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Ummat Islam khususnya harus menambah wawasan ke-Islamannya, supaya tidak mudah menuduhkan hinaan bahkan kata sesat terhadap sesama. Terlebih terhadap Majelis Ulama' Indonesia, harus ditegaskan bahwa MUI bukanlah lembaga hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap Pondok Pesantren Al-Zaytun.
MUI adalah Organisasi Masyarakat dan tidak lebih dari itu, oleh karenanya MUI tidak boleh menjadikan dirinya Abuse of Power dengan meletakkan legitimasi serta labelisasi Ulama' sehingga ia berhak menuduhkan memberikan fatwa sesat terhadap Saudara Panji Gumilang. Perlu dipertegas bahwa dalam Islam tidak pernah ada perintah Allah dan Rasulnya untuk mendirikan suatu lembaga untuk menyelidiki dan menyiasati perbedaan pandangan. (Lihat Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.157). Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) Ketua MUI pertama, menjelaskan arti dan fungsi ulama' sebagaimana berikut :
“Arti sejati dari ulama ialah orang berilmu. Hanya tradisi buatan manusia yang mempersempit daerah itu. Sekali-kali tidaklah ada agama memberikan hak kepada seorang ulama buat memaksa orang banyak supaya tunduk saja kepada yang beliau tentukan”. (Lihat Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.155)
“Golongan yang disebut ulama, tidaklah diberi hak menguasai agama. Tidak ada satu kasta yang semata-mata hanya mengurus agama dan orang banyak menunggu keputusan dari beliau”. (Lihat Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.155)
Jelas disini bahwa Islam sendiri tidak pernah mengadakan suatu lembaga khusus untuk menyelidiki bahkan memberantas perbedaan pendapat. Islam sendiripun kata Hamka adalah agama yang memuliakan akal dan menghendaki kemerdekaan berfikir dan menyatakan pendapat.
Perbedaan Saudara Panji Gumilang yang ada dan ditampilkan ditengah-tengah masyarakat sebagaimana (shaf sholat perempuan dan laki-laki bercampur) sejatinya persoalan fiqh, dimana yang menjadi perbedaan adalah lafadz dalil bersifat zhanni. Bahkan dalam hal gerakan sholat, ulama' saja berbeda pandangan tetapi dibalik perbedaan itu seluruhnya sepakat bahwa sholat fardhu itu wajib.
Inilah yang harus dapat kita pahami, jika dalam Islam sendiri ada dua yaitu Ushul dan Furu'. Ushul adalah dasar yang dimana berisi dalil lafadz Qath'i hingga tidak mungkin adanya perdebatan, sebagaimana contoh kewajiban sholat. Adapun Furu' adalah persoalan cabang yang dimana berisi dalil Zhanni hingga adanya perbedaan pandangan ulama' sebagaimana dalam gerakan sholat. Ringkasnya jika Saudara Panji Gumilang tidak merubah-rubah Ushul maka tiada hak sekalipun itu MUI untuk memberantas perbedaan pandangannya. Ummat Islam harus cermat dalam menyikapi perbedaan yang ada!!.
Adapun persoalan bahwa Pondok Pesantren Al-Zaytun berafiliasi dengan NII, perlu dipertegas bahwa NII sendiri adalah berpaham Islam, dan tidak pernah ada sekalipun sidang pengadilan yang menyatakan bahwa NII bersalah dan yang berpaham NII harus diberantas, sebagaimana PKI dan paham Komunisnya. Kembali lagi warga negara Indonesia dan Ummat Islam harus cerdas dan cermat!!. Jangan mudah terhasut oleh kabar angin yang tidak jelas darimana asalnya.
Oleh: Muhammad Afiffudin Anshori
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H