Saudara Panji Gumilang dituduhkan berbagai hinaan bahkan kata sesat daripada masyarakat. Dalam hal ini seharusnya tidak boleh ada dalam negara hukum, sebagaimana dalam hukum dikenal asas praduga tidak bersalah dimana menyatakan bahwa "Seorang dinyatakan bersalah jika sudah ada putusan pengadilan yang mengikat". Perbedaan pandangan oleh Saudara Panji Gumilang sendiri di amini oleh Undang-Undang Dasar, bahkan dibenarkan jika Saudara Panji Gumilang memiliki pandangan yang berbeda. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E Ayat 2 dan 3, menyebutkan.
“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat harus kembali hadir melindungi hak dan kebebasan daripada Saudara Panji Gumilang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Ummat Islam khususnya harus menambah wawasan ke-Islamannya, supaya tidak mudah menuduhkan hinaan bahkan kata sesat terhadap sesama. Terlebih terhadap Majelis Ulama' Indonesia, harus ditegaskan bahwa MUI bukanlah lembaga hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap Pondok Pesantren Al-Zaytun.
MUI adalah Organisasi Masyarakat dan tidak lebih dari itu, oleh karenanya MUI tidak boleh menjadikan dirinya Abuse of Power dengan meletakkan legitimasi serta labelisasi Ulama' sehingga ia berhak menuduhkan memberikan fatwa sesat terhadap Saudara Panji Gumilang. Perlu dipertegas bahwa dalam Islam tidak pernah ada perintah Allah dan Rasulnya untuk mendirikan suatu lembaga untuk menyelidiki dan menyiasati perbedaan pandangan. (Lihat Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.157). Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) Ketua MUI pertama, menjelaskan arti dan fungsi ulama' sebagaimana berikut :
“Arti sejati dari ulama ialah orang berilmu. Hanya tradisi buatan manusia yang mempersempit daerah itu. Sekali-kali tidaklah ada agama memberikan hak kepada seorang ulama buat memaksa orang banyak supaya tunduk saja kepada yang beliau tentukan”. (Lihat Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.155)
“Golongan yang disebut ulama, tidaklah diberi hak menguasai agama. Tidak ada satu kasta yang semata-mata hanya mengurus agama dan orang banyak menunggu keputusan dari beliau”. (Lihat Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.155)
Jelas disini bahwa Islam sendiri tidak pernah mengadakan suatu lembaga khusus untuk menyelidiki bahkan memberantas perbedaan pendapat. Islam sendiripun kata Hamka adalah agama yang memuliakan akal dan menghendaki kemerdekaan berfikir dan menyatakan pendapat.
Perbedaan Saudara Panji Gumilang yang ada dan ditampilkan ditengah-tengah masyarakat sebagaimana (shaf sholat perempuan dan laki-laki bercampur) sejatinya persoalan fiqh, dimana yang menjadi perbedaan adalah lafadz dalil bersifat zhanni. Bahkan dalam hal gerakan sholat, ulama' saja berbeda pandangan tetapi dibalik perbedaan itu seluruhnya sepakat bahwa sholat fardhu itu wajib.
Inilah yang harus dapat kita pahami, jika dalam Islam sendiri ada dua yaitu Ushul dan Furu'. Ushul adalah dasar yang dimana berisi dalil lafadz Qath'i hingga tidak mungkin adanya perdebatan, sebagaimana contoh kewajiban sholat. Adapun Furu' adalah persoalan cabang yang dimana berisi dalil Zhanni hingga adanya perbedaan pandangan ulama' sebagaimana dalam gerakan sholat. Ringkasnya jika Saudara Panji Gumilang tidak merubah-rubah Ushul maka tiada hak sekalipun itu MUI untuk memberantas perbedaan pandangannya. Ummat Islam harus cermat dalam menyikapi perbedaan yang ada!!.