Tak sengaja malam ini saya membaca artikel berjudul "Skripsi Berujung Depresi" yang diterbitkan di salah satu media online pada hari Rabu, 9 Januari 2019. Ini bukanlah suatu fenomena yang asing lagi terdengar di telinga kita, namun jika ditinjau lebih lanjut, persoalan seperti jangan dianggap ringan ataupun juga dianggap terlalu mengerikan.Â
Karena saya yakin setiap orang tentu mempunyai pendapat yang berbeda dalam menanggapi kasus ini. Bahkan tidak hanya kasus bunuh diri karena skripsi saja, banyak yang perlu kita kaji fenomena lain yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menyebabkan kasus bunuh diri. Diantaranya bisa karena cinta (sakit hati/patah hati), sakit (fisik/psikis), ekonomi, bullying dan lain-lain. Untuk kasus lainnya, mungkin bisa saya bahas di lain waktu.
Kembali pada kasus stres, depresi, yang kemudian berujung bunuh diri pada kasus mahasiswa skripsi. Mungkin di satu sisi ada yang memandang, "Gara-gara skripsi, kok bisa sampai mengakhiri hidupnya?" atau sebaliknya, "Kasus bunuh diri karena skripsi tidak boleh dianggap remeh, apalagi sebelah mata, karena ini juga menyangkut masa depannya. Seharusnya ada perhatian khusus atau pendampingan untuk kasus seperti ini."
Kalau bagi saya, mahasiswa skripsi perlu perhatian khusus bahkan pendampingan. Apalagi mereka yang mengalami perpanjangan perkuliahan karena skripsi. Karena dibilang dewasa, mereka belum sepenuhnya dewasa dan matang mentalnya. Paling tidak, ada tiga hal yang menjadi masalah yang krusial, diantaranya: masalah finansial, psikis, dan kemampuan akademik. Â
Mengenai masalah finansial, tidak semua mahasiswa dan orangtuanya mampu membiayai perpanjangan masa perkuliahan. Bahkan dengan terpaksa, ada mahasiswa yang bekerja sampingan untuk menutup biaya perkuliahan disamping yang utama harus menyelesaikan skripsi.Â
Begitu juga dengan masalah psikis yang akan dihadapi, tiba-tiba penyesalan waktu menjadi boomerang tersendiri dan juga tekanan dari lingkungan terdekatnya, baik orangtua, dosen pembimbing, kampus, teman-teman perkuliahan, masyarakat dan lain-lain.Â
Dan yang terakhir, mengenai kemampuan akademik mahasiswa menyelesaikan skripsi, baik secara kompetensi secara akademiknya maupun mentalnya. Ada beberapa mahasiswa yang kesulitan menuliskan karya ilmiah karena sebelumnya tidak terbiasa menulis karya ilmiah, atau ada pula masalah lain yang mengiringi, misalnya, ketakutan menemui dosen pembimbing, trauma presentasi, dan lain-lain.
Bahkan untuk kasus siswa SMP, SMA yang bunuh diri gara-gara tidak lulus Ujian Nasional (UN) demi menghindari bullying juga perlu antisipasi pendampingan di sekolah sebelumnya. Begitu juga kasus-kasus lainnya yang biasa terjadi di sekolah SMP, SMA maupun di perkuliahan.
Bagi saya, keduanya bukan kasus yang dianggap remeh. Minimnya pendampingan guru-guru di sekolah terhadap siswa-siswi yang bermasalah masih sangatlah minim. Mengetahui masalah siswa-siswinya saja belum tentu, apalagi melakukan pendampingan terhadap anak didiknya.
Sebelum merefleksikan lebih lanjut, saya ingin memberi rangkuman isi artikel yang berjudul "Skripsi Berujung Depresi". Berikut beberapa kasus, gambaran depresi, cara menghindari depresi, dan cara melawan depresi.
Kasusnya diantaranya sebagai berikut.
- Kasus meninggalnya seorang mahasiswa berinisial RWP (24 tahun) semester 13 Universitas Padjajaran (Unpad) pada tanggal 24 Desember 2018, tepat sehari menjelang Natal. Mahasiswa tersebut ditemukan tewas gantung diri di kamar kosnya. Dari keterangan sejumlah pihak (termasuk warga di Jatinangor), sebelum meninggal RWP mengeluhkan masalah keuangan dan skripsi.Â
- Pada September 2018 lalu, mahasiswa berinisial IR (22 tahun) Jurusan Pendidikan Agama Islam, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat tewas gantung diri diduga akibat persoalan skripsi.
- Mahasiswa Universitas Negeri Medan berinisial MMM (23 tahun), juga ditemukan tewas gantung diri pada November 2018. Diduga kuat ia gantung diri karena stres proposal skripsinya ditolak berulang kali oleh pihak kampus