Apakah Juru Bicara Presiden benar-benar diperlukan?, Belajar dari Juru Bicara yang sebelumnya.
Dikutip dari pernyataan A Khoirul Umam, seorang Doktor Politik Indonesia, kondisi komunikasi di Istana Negara tidak sedang baik-baik saja, sedang tidak sehat rupanya. Karena hal tersebutlah posisi juru bicara menjadi sangat krusial untuk segera dicanangkan. Juru bicara presiden ini haruslah mampu menjadi antisipasi apabila terjadi salah ucap ketika presiden berbicara. Kualitas dan kapasitas tata bahasanya juga haruslah mampu untuk menjelaskan kompleksitas sebuah kebijakan atau tindakan yang sedang menjadi pembicaraan public agar tidak salah tafsir. Hal tersebutlah yang membuat Fadjroel Rachman diangkat menjadi juru bicara presiden, karena dinilai memiliki kecakapan dan kualitas memadai yang dibutuhkan oleh Istana Negara saat ini. Namun nampaknya ada factor yang lebih penting dari sekedar kecakapan dan kualitas bicara, karena kalau soal itu seharusnya mahasiswa juga bisa jadi juru bicara presiden. Yaitu adalah menjadi NETRAL dalam ucapan. Tidak mengundang chaos atau keributan saat berbicara di ruang publik dan sebisa mungkin menjaga nama baik negara. Mari kita mulai penilaian seberapa baikkah Fadjroel Rachman bekerja? dan apakah presiden negara DEMOKRASI yang seharusnya memiliki hubungan intens dan langsung kepada masyarakat, butuh juru bicara?. Di awal November 2020 sempat menjadi pembicaraan yang ricuh di media social perihal komentar Fadjroel Rachman dan Transportasi DKI Jakarta yang masuk juara dunia,
“Akhirnya semua pekerjaan public yang DIRINTIS presiden @jokowi & @basuki_btp dari #MRTJakarta #LRTJabodetabek #KeretaApiBandara #6TolDalamKota juga #Transjakarta pak Sutiyoso, mendapatkan penghargaan dunia. Terimakasih @aniesbaswedan sudah melanjutkan”
Komentar Fadjroel ini pun menjadi bulan-bulanan Fadli Zon. Pasalnya komentar Fadjroel terkesan bernada oposisi terhadap DKI. Masa iya, Istana Negara beroposisi dengan DKI Jakarta?. Kemudian pada September 2020 Fadjroel sempat mencuit di Twitter dengan kalimat menyindir
“memang susah sih ini orang, enggak bisa kerja, maunya ribut aja”.
Hal itu sontak menjadi perhatian dan menimbulkan kontra bagi sebagian kaum elite dan sebagian masyarakat tentunya. Kalau menurut saya, media social memanglah wadah untuk menyatakan pendapat, kemarahan dan lainnya, namun, dalam kasus Fadjroel ini agak berbeda dengan masyarakat yang memang lebih bebas mengutarakan pendapatnya. Karena Fadjroel posisinya adalah JURU BICARA Presiden, yang mana seharusnya berbicara dengan konteks yang baik dan PENTING. Saya sendiri setelah membaca cuitannya memang agak terasa negative, karena seharusnya Fadjroel bersikap dewasa dan menjaga nama baiknya serta negara, kalau begitu tingkahnya hal ini sangat disayangkan.
Selain ‘perbahasaaan’ yang perlu diberikan perhatian lebih, ada ‘sektor’ lain yang menurut saya juga perlu diperhatikan, yaitu mengetahui pentingnya meberikan penjelasan LOGIS kepada masyarakat dan media atas tindakan yang dilakukan Jokowi. Mari kita lihat permasalahan yang terjadi pada Juni 2021 yaitu polemic poster “Jokowi: The King of Lip Service” yang diunggah oleh BEM UI (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia). Kalau kita bedah, seharusnya hal ini adalah wajar, toh kita adalah negara Demokrasi. Saya ingat sewaktu saya SMP, presiden masih SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) ada yang berdemo menggunakan sapi dan menuliskan nama SBY pada punggung sapi. Apakah hal tersebut menjadi masalah? Tentu, SEHARUSNYA TIDAK, karena ya sekali lagi kita adalah negara demokrasi. Dimana posisi rakyat memang diatas pemerintah, bukan rakyat menuhankan pemerintah. Namun setelah unggahan “Jokowi: The King of Lip Service” mahasiswa-mahasiswa yang terlibat malah dapat binaan padahal itu adalah ekspresi bukan kenakalan. Belum lagi kritik-kritik yang sedang marak lewat Twitter, Instagram dan media social lainnya.
Setelah kejadian-kejadian tersebut, apa tanggapan juru bicara presiden, Fadjroel Rachman? Ia mengungkapkan pada kumparan bahwa “Praktik kritik yang mengikuti kaidah IPTEK dan Demokrasi, tidak akan menggunakan kekerasan komunikasi seperti stigma, fitnah, hinaan, dan perundungan atau bully”. Hal ini rasanya cukup lucu dan malah seperti Pembenaran survey penurunan demokrasi di Indonesia memang benar adanya. Dari negara demokrasi penuh menjadi negara demokrasi setengah. Ini demokrasi patah, tidak sampai di ujung, jadi hanya setengah hati.
Jadi setelah kesalahan-kesalahan major dari juru bicara sebelumnya ini, apakah Presiden benar-benar membutuhkan juru bicara? Sebenarnya bila dilihat dari negara-negara demokrasi lain, memiliki juru bicara adalah hal yang wajar bahkan di Amerika juru bicara memiliki posisi yang krusial dalam komunikasi politik. Hal tersebut pula menjadi ajang pembentukkan citra para kaum elite.
Namun, disini saya jujur saja, saya tidak dapat melihat hasil dari ‘gerakan bibir’ juru bicara presiden hingga masa Fadjroel ini berakhir. Kalau toh, Pak Fadjroel adalah juru bicara presiden dimana letak hasil nyatanya?, dimana pemberitaan secara ‘sejujur-jujurnya’ perihal keadaan Jokowi dalam kepemimpinannya? Apakah ia berhasil membenahi citra Jokowi?. Hal-hal tersebut rasanya tidak ada jawabannya, hambar semua. Dan justru pembangunan citra Jokowi lebih berhasil diciptakan oleh media sendiri tanpa embel-embel juru bicara, sebut saja Metro TV, ANTV, TV One dan lainnya yang tidak dapat saya ucapkan satu persatu. Jadi masihkah juru bicara untuk presiden dibutuhkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H