Hanya
Oleh: Sapardi Djoko Damono
Hanya suara burung yang kaudengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Sapardi Djoko Damono merupakan seorang sastrawan yang lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Beliau pernah menjadi guru besar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Beliau adalah salah seorang sastrawan puisi yang terkenal di Indonesia karena puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata yang sederhana tapi tidak kehilangan estetika sastranya sehingga bisa dipahami oleh orang awam sekalipun.
Puisi Hanya karya Sapardi Djoko Damono memberikan kita pesan tersirat tentang keterbatasan yang dimiliki oleh manusia terutama dalam indra penglihatan tapi adanya rasa percaya yang membuat kita tetap merasakan dan mengetahui kehadiran hal-hal tersebut. Puisi ini bukan sekadar serangkaian kata, melainkan sebuah jendela menuju dunia batin yang tersembunyi, di mana realitas dan abstraksi bersatu.
Suara burung yang kaudengar, tak pernah kaulihat, namun keyakinan tentang keberadaannya memayungi pikiranmu. Desir angin yang kaurasa, tak pernah kaulihat, tapi keyakinanmu terhadap angin itu berkibar dalam setiap hembusan. Doamu bergetar malam ini, tak pernah kaulihat diriku, tapi dalam keheningan, yakinlah aku ada dalam dirimu.
Pertama-tama, kita diajak merenungi suara burung. Suara yang tak tampak namun hadir dalam pendengaran. Bait ini memberikan kesan secara tersurat tentang panggilan untuk menyadari keberadaan yang lebih besar dari apa yang dapat kita lihat. Puisi ini mengajak kita untuk mendengar dengan hati, melampaui indra penglihatan, dan mengenali eksistensi yang merayap dalam keheningan.
Desir angin menjadi simbol kedua, memperkuat tema kehadiran yang tidak tampak. Angin, sebagai elemen alam yang bisa kita rasakan di kulit tanpa perlu melihatnya.Begitu juga dengan makna puisi ini, menuntun kita merasakan keberadaan tanpa perlu melihatnya secara fisik. Ada kecantikan dalam keyakinan yang melampaui batas indera penglihatan, dan Sapardi dengan lembut membuka pintu untuk melihat dunia ini dari sudut pandang yang lebih dalam.
Doa yang bergetar di malam hari menjadi titik akhir dari perjalanan kata-kata ini. Doa yang tak terlihat, tak terlihatnya siapa yang berdoa, namun begitu nyata dalam getaran hati. Meski kita tidak melihat siapa yang berdoa, getaran hati dan keinginan yang diucapkan menjadi sangat nyata. Puisi ini menunjukkan kepada kita pentingnya keyakinan, meski kadang-kadang hal itu tidak terlihat dengan mata biasa. Doa yang terucap, keyakinan yang meresap, dan eksistensi yang merayap dalam keheningan malam.
"Hanya" bukan sekadar kata, melainkan ajakan untuk melihat dunia dengan mata batin, mendengar dengan hati, dan merasakan dengan keyakinan. Puisi ini memberikan kesan bahwa kita tidak perlu melihat sesuatu untuk memercayai keberadaan suatu hal karena banyak hal yang keberadaannya kita ketahui melalui cara yang lain. Â Essai ini menjadi perjalanan bersama-sama Sapardi Djoko Damono menembus batasan untuk menyelami makna dan kecantikan puisi yang mungkin hanya bisa kita temukan ketika kita bersedia melampaui apa yang tampak di permukaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H