Dalam konteks pendidikan Islam Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaannya, pemerintah membentuk Departemen Agama yang memegang kewenangan utama dalam penyelenggaraan bidang agama. Salah satu bentuk kewenangan tersebut adalah terkait dengan pengembangan institusi pendidikan Islam. Namun, kewenangan Departemen Agama yang terkait dengan pendidikan Islam telah melahirkan sejumlah kebijakan yang berimplikasi pada kultural dan politis.
 Secara kultural, pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di Jawa, maunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah mengalami proses transformasi keilmuan dan kelembagaan adalah lembaga pendidikan Islam yang telah menyejarah. Usia pendidikan Islam lebih tua dari kemerdekaan RI sehingga tidak dapat dipisahkan dari kultur bangsa ini.
Secara politis, jauh sebelum kemerdekaan RI, pemerintah kolonial Belanda dan Jepang melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam yang notabene diselenggarakan oleh umat Islam. Kontrol tersebut dimotivasi oleh pertimbangan politis bahwa umat Islam di Nusantara adalah komunitas yang mayoritas, sehingga mesti diakomodasi kepentingan politik dan edukasinya guna mengukuhkan legitimasi kekuasaan.
 Setelah Indonesia merdeka pemerintah menetapkan sejumlah kebijakan politik pendidikan yang secara fungsional umat Islam mendapatkan manfaat atas kebijakan politik pendidikan pemerintah, terutama bagi pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan Islam.
Atas dasar ini lahir berbagai kebijakan negara tentang sistem pendidikan nasional yang memuat tentang relasi antara pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional, di antaranya lahir Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 Jo. Nomor 12 tahun 1954 tentang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tantang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tantang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-undang tersebut posisi pendidikan Islam mengalami perubahan sesuai dengan pengaruh kepentingan oleh pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan kebijakan negara tentang sistem pendidikan nasional.
Di masa awal berdirinnya negara 1945-1966, pertentangan antara kepentingan politik dan aliran ideologi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam acap kali terjadi dalam memutuskan kebijakan. Keadaan yang demikian berimplikasi terhadap kebijakan pemerintah yang belum mencerminkan pendidikan Islam sebagai lembaga pendidikan yang terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam sepenuhnya di bawah tanggung jawab Departemen Agama yang dibentuk untuk membidangi masalah-masalah keagamaan.
Pendirian Departemen Agama dilatari oleh kebijakan politik umat Islam setelah Indonesia merdeka. Pemerintah Republik Indonesia baru dibentuk oleh koalisi Muslim dan beberapa partai
nasionalis, antara lain Masyumi, Nahdhatul Ulama, PNI, dan PKI. Meskipun selama tahun-tahun peperangan, pihak Muslim menjadi kekuatan organisasi politik yang besar, namun kemudian kekuatan mereka terkalahkan oleh kekuasaan Partai Nasionalis Indonesia yang bercorak nasionalis sekuler.
Ditinjau dari perspektif kehidupan kenegaraan, muara dari keinginan dan upaya pemikir dan aktivis politik Islam adalah menempatkan posisi Islam secara pas dalam kehidupan kenegaraan, yaitu dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Muhammad Natsir selaku tokoh Masyumi merupakan salah seorang artikulator penting dari gagasan ini. Bahkan, sebelum Indonesia merdeka, pada tahun 1930-an, Natsir telah terlibat dalam perdebatan dengan Soekarno tentang hal krusial tersebut.
Gagasan menjadikan Islam sebagai dasar negara kembali mewacana dalam sidang Badan Pelaksana Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Perdebatan itu berakhir tanggal 22 Juni 1945 setelah adanya kompromi dan kesepakatan, yaitu kelompok Islam agamis, nasionalis dan kelompok nasionalis sekuler berkaitan dengan dijadikannya Piagam Jakarta sebagai Mukadimah UUD 1945. Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945, kesepakatan itu berubah dengan penerimaan rumusan Pancasila tanpa disertai Piagam Jakarta. Perubahan itu diterima oleh kelompok Islam yang berideologi agamis, karena situasi saat itu mengharuskan adanya prioritas pilihan.
Perubahan atas dasar negara tersebut didasarkan pada pertimbangan politis untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, proses perubahannya dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Perubahan dasar negara itu menimbulkan pertanyaan umat Islam dan perasaan tidak puas, karena Piagam Jakarta telah disepakati sebelumnya yang mencantumkan syariat Islam sebagai dasar negara sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Jakarta.
Dalam kaitan ini, B.J. Boland mengemukakan bahwa berdirinya Departemen Agama membawa makna positif bagi kepentingan umat Islam. Makna positif ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) kementerian ini menawarkan kemungkinan bagi agama, khususnya agama Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyarakat; 2) dalam sebuah negeri yang bercorak muslim, kementerian ini merupakan suatu jalan tengah antara negara sekuler dan negara Islam.
Sejak masa itu, Departemen Agama mengelola sepenuhnya Pendidikan Islam. Namun, perhatian yang diberikan oleh Depertemen Agama dalam mengembangkan pendidikan Islam di masa awal kemerdekaan mendapat tantatangan dari kekutan nasionalis sekuler terutama di lembaga Badan Pekerja Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) saat sidang-sidang dalam merumuskan UndangUndang Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah tahun 1949-1950. Pemerintah belum memosisikan pendidikan Islam terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Salah satu penyebabnya adalah selain masih kuatnya pengaruh zaman penjajahan Hindia Belanda dan Jepang di bidang pendidikan yang netral terhadap agama,6 juga masih kuatnya pengaruh kelompok nasionalis sekuler dalam pengambilan kebijakan negara di bidang pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H