Melihat fenomena di sekitar oleh generasi penerus Indonesia saat ini, seperti terlalu terlelap dengan hingar bingar dunia hedonis, instan dan serba mudah. Tiap kali saya berkunjung ke convenience store yang ada hampir di tiap sudut ibukota pada siang hari, saya pasti bertemu dengan anak-anak sekolah tanggung yang sedang asyik bercanda sambil menghisap tembakau. Acara-acara melalui siaran televisi yang disaksikan dan hampir selalu diminati oleh seluruh lapisan masyarakat justru didominasi oleh ajang pencarian bakat anak-anak muda yang pada dasarnya hanya mampu memberikan kilau sekejap, dan acara-acara hiburan tak mendidik, yang pada dasarnya bertujuan hanya murni bisnis yang bermuara pada keuntungan untuk para pebisnis dunia hiburan. Belum lagi berita bullying yang sampai menimbulkan korban jiwa, dan bahkan kegiatan ospek sekolah tak masuk akal yang beberapa ditemukan berujung adanya korban jiwa. Ya, bahkan kegiatan yang jelas-jelas difasilitasi dan diawasi oleh pihak sekolah tak luput dari masalah. Inikah potret para generasi penerus bangsa Indonesia ?
Ini bukan berarti masyarakat atau para pelajar tak perlu diberikan sajian hiburan atau ajang-ajang pencarian bakat untuk menyalurkan talentanya, namun tidak adanya batas apakah ini merupakan suatu bentuk kebutuhan atau sebatas hiburan adalah biang masalahnya. Masalah-masalah kritisnya kualitas emosional generasi kita memang tak sepenuhnya milik media, namun saya rasa dapat dibatasi oleh suatu wadah yang dapat memberikan pengaruhnya yaitu sekolah. Sekolah yang merupakan tempat dimana para pelajar kita bersosialisasi, mempelajari pelbagai disiplin ilmu pengetahuan dan tempat menghabiskan waktu paling lama semasa muda, sudah seharusnya menjadi hulu dari terciptanya generasi-generasi emas masa depan yang berjiwa pemimpin, produktif, inovatif, beretika, dan bermoral.
Lalu apakah mungkin perubahan terhadap keadaan kritis generasi muda kita dapat diwujudkan ? saya optimis bisa. Beberapa literatur, walaupun sangat minim, sering menyebut agent of change dalam beberapa studi perubahan sosial. Bila kita mengaitkan kritisnya kondisi generasi penerus Indonesia, dengan agent of change untuk kemudian menjadi bagian pendukung dari Revolusi Mental yang dicanangkan Pak Jokowi, kurang lebih begini gambarannya.
Secara sederhana, definisi dari Agent of Change adalah orang-orang tertentu atau kelompok tertentu yang memiliki kemampuan untuk memberdayakan perorangan atau bahkan kelompok masyarakat, untuk menuju perubahan tatanan sosial yang baru dan berkelanjutan. Menariknya adalah, jiwa agent of change dapat saja ditemukan dalam diri para pemimpin terbaik. Namun pada kenyataannya, banyak para pemimpin yang hanya "berkharisma", akan tetapi bukanlah pemilik jiwa agent of change. Sekilas memang terlihat tak ada bedanya, toh pemimpin yang berkharisma juga dapat berpengaruh dan memberikan perubahan. Hal ini memang benar, akan tetapi sayangnya, pemimpin berkharisma yang tidak memiliki jiwa agent of change cenderung hanya mampu menciptakan para pengikut, bukan para pemimpin baru. Satu contoh sederhananya adalah almarhum Steve Jobs. Beliau adalah pemimpin yang sangat berkharisma dan berbakat, namun Apple sepeninggalnya, secara perlahan kehilangan sosok yang inovatif untuk dapat mempertahankan kepercayaan dan kepuasan para pengguna produk Apple. Sehingga akibat dari ketidakmampuan seorang pemimpin dalam menciptakan pemimpin baru, perubahan yang diberikan oleh pemimpin-pemimpin berkharisma ini menjadi bukanlah suatu perubahan berkelanjutan, namun perubahan yang hanya bergantung pada satu orang saja dan berlangsung dalam waktu yang singkat. Sedangkan secara garis besar, agent of change adalah orang-orang yang dapat menciptakan pemimpin-pemimpin baru, melalui kemampuan mereka yang dapat mengembangkan kemampuan perorangan atau kelompok, dan memberdayakannya. Agent of Change ini merupakan subjek, sedangkan objeknya adalah perorangan atau sekelompok masyarakat.
Mari kita bayangkan bila orang-orang berjiwa agent of change ini ada di lingkungan sekolah, dan merupakan bagian dari otoritas yang dapat memberikan sentuhan bakatnya terhadap para pelajar kita, secara rutin dan terus menerus. Dan alangkah lebih baik lagi, bila hal ini difasilitasi lebih jauh melalui  kurikulum  pendidikan kita, karena pengembangan karakter untuk para pelajar kita mutlak diperlukan. Sehingga, yang muncul tak hanya pelajar-pelajar yang matang secara intelektualitas, namun juga secara emosional, yang justru sangat berpengaruh untuk membentuk kecerdasan yang beretika dan bermoral. Inilah mengapa kehadiran para agent of change dalam sistem pendidikan kita dapat menjadi bagian yang patut diperhitungkan dalam agenda revolusi mental. Bila mungkin selama ini revolusi mental sering kita kaitkan dengan pentingnya reformasi birokrasi dan aparatur Negara, lalu setelah terjadi revolusi dalam sistem birokrasi maupun birokratnya, bukankah kemudian para pemuda-pemudi Indonesia sebagai generasi peneruslah yang harus mempertahankan revolusi tersebut ?
Sumber definisi dan pengertian Agent of Change : http://georgecouros.ca/blog/archives/3615
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H