Pendidikan adalah modal penting untuk menghadapi persaingan sumber daya manusia yang semakin ketat dalam era globalisasi. Belum lagi industri Indonesia yang ikut-ikutan latah pada lulusan sekolah dengan embel-embel asing.
Bahan jualan sekolah dengan sebutan internasional tentu saja mengiming-imingi membuat encer otak anak didik di atas rata-rata dan merangsang kemampuan berbahasa asing.
Sekolah Internasional yang difasilitasi tenaga pendidik asing, perlengkapan sekolah yang canggih dan kelas kecil disebut-sebut membangun anak lebih cerdas di banding sekolah biasa saja.
Hasilnya? Bisa ya bisa tidak. Buktinya sampai saat ini belum ada siswa yang sejak awal dididik di sekolah internasional lalu jadi jawara olimpiade internasional.
“Sejauh ini para jawara olimpiade internasional asal Indonesia lebih banyak adalah anak-anak biasa yang dididik di sekolah dengan kurikulum biasa-biasa saja,” ujar Yohannes Surya.
Tetapi mengapa justru sekolah-sekolah dengan label internasional atau kurikulum internasional yang berbiaya mahal itu sangat laku di mata para orang tua murid Indonesia?
Padahal tak murah untuk sekolah di sekolah-sekolah dengan label internasional tidak hanya berkisar pada hitungan jutaan rupiah, beberapa sekolah malah meminta bayaran dengan kurs dollar.
Sebut saja Sekolah Tiara Bangsa (STB), Depok yang sudah diakreditasi oleh International Baccalaureate Organization (IBO) untuk masuk taman kanak-kanak (TK) orangtua siswa harus merogoh US$2.750 ditambah Rp 20.500.000 per tahun.
Untuk masuk sekolah dasar (SD) US$5.550 ditambah Rp 20.500.000 per tahun. Tingkat Sekolah menengah pertama (SMP), US$5.750 ditambah Rp 20.500.000 per tahun. Untuk tingkat SMA, Rp 50 juta per tahun.
Hanya saja meski telah disekolahkan ke sekolah mahal bukan berarti anak kemudian dijamin sukses di masyarakat atau menjadi penemu jempolan.
Seperti kata Thomas Alva Edison ,”Bakat adalah 1% sementara yang 99% adalah kerja keras!”.
Hal ini dibuktikan dengan prestasi seorang alumni MAPK Surakarta yang berasal dari keluarga yang sangat sederhana mampu meraih beasiswa S-I di Universitas Ankara, Turki jurusan Islamic Theology. Abdurrahman Al Farid namanya. Anak seorang petani yang pada saat itu berumur 17 tahun berhasil mengalahkan sekitar 25.000 pendaftar beasiswa di seluruh dunia yang ingin melanjutkan studi S-I nya di Turki. Muhammad Faqih Afthon, alumni siswa SMAN 2 Kudus berhasil mendapatkan medali perunggu di ajang International Olympiad on Astronomy and Astrophysics (IOAA) di Rumania. Sebelumnya ia berhasil menjuari OSN dan mendapat medali emas serta beasiswa di ITB fakultas Teknik Mesin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H