Semua isu keagamaan memang sangat sensitif dan menarik untuk dibicarakan bagi sebagian kalangan. Tema keislaman khususnya belakangan ini menjadi begitu ramai diperbincangkan di media massa hingga menimbulkan kegaduhan. Kemudian kegaduhan itu menjadi sulit untuk mereda oleh karena Islam merupakan salah satu agama terbesar penganutnya di republik ini. Jadi apapun itu asalkan berhubungan dengan Islam akan cepat menjadi buah bibir di masyarakat.
Kegaduhan tersebut tampak begitu marak terlebih di media sosial. Ketiadaan sempadan dalam dunia maya menjadi salah satu faktor yang membuat semua orang merasa dirinya memiliki kapasitas dan otoritas di segala bidang. Perbedaan tingkatan akademis ataupun bidang keilmuan tertentu tidak menjadi pertimbangan. Siapapun boleh berbicara dan mengeluarkan pandangannya terhadap suatu topik permasalahan.
Akibatnya, para pakar bidang keilmuan, teolog, agamawan atau ulama kewalahan menghadapi hal semacam ini bahkan sekedar mengendalikannya sulit. Misal, dengan tergesa-gesa bermodal argumentasi alakadarnya tanpa amatan yang mendalam, bahkan hanya memungut salah satu pernyataan yang pernah dilontarkannya dalam sebuah acara televisi swasta. Seorang tokoh dari salah satu ormas Islam terbesar tanah air juga tak luput menjadi korban hujatan dan dihujani dengan beragam paparan sarat kebencian oleh sekelompok orang.
Dibalik itu semua, sesungguhnya ada hal yang menarik sekaligus membingungkan mengenai ajaran Islam yang diyakini begitu sempurna dan membawa kedamaian. Tetapi di sisi lain umat Islam sendiri justru saling menghujat antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Terjadi suatu kesenjangan, gapatau inkonsistensi antara ajaran dan kenyataan dalam kehidupan umat Islam sendiri.
Kesenjangan tersebut mungkin saja bersifat abstrak namun dapat menjadi indikator lemahnya disposisi sikap umat Islam saat ini. Kelemahan itu dipicu oleh berbagai macam persoalan salah satunya: klaim kebenaran dari masing-masing kelompok keagamaan. Implikasinya: saling tuduh-menuduh dan menganggap kelompok lain di luar komunitas mereka adalah sesat dan layak untuk menjadi penduduk neraka.
Sumber kebencian itu sesungguhnya mengalir dari afiliasi pada ideologi suatu kelompok tertentu. Dengan berbalut semangat ke-Islam-an seperti ditunjukkan para pendukung suatu kelompok keagamaan yang dengan bringas memaki. Kebencian semacam itu sebenarnya dapat dipahami mengingat fanatisme buta terhadap kelompok keagamaan bagi mayoritas masyarakat Indonesia saat ini masih tinggi. Hal ini juga yang justru digunakan oleh oknum dari suatu kelompok tertentu yang memiliki kepentingan pribadi sebagai peluang yang tepat untuk memprovokasi antar kelompok. Pada akhirnya, terjadilah caci maki sekaligus saling klaim kebenaran dari tiap-tiap kelompok keagamaan.
Mengeneralisasi wajah Islam dengan itu(?) bukanlah suatu keadilan. Kekerasan yang dilakukan sebagian kelompok islam tidaklah representatif apabila digunakan dalam menilai ajaran Islam yang sangat komprehensif. Akan tetapi semua itu tentu saja hanyalah --other among others-- salah satu wajah saja dari seribu satu wajah Islam yang lain.
Perenungan yang mendalam tentang beragam fenomena terkait umat Islam belakangan ini, sangat diperlukan guna memperoleh gambaran yang lebih transparan mengenai argumen yang sangat fundamental menjadi pemicu polemik dan penyebab lusuhnya wajah umat Islam di negeri ini.
Potret kusam umat Islam di tanah air belakangan ini, memberikan pelajaran berharga: betapa pentingnya peran aktif dari para ulama ketika umat mulai bingung menentukan arah menuju agama yang hanif lagi santun sebagaimana diajarkan oleh Nabi SAW. Umat Islam secara keseluruhan juga dituntut untuk insaf dan secepatnya memperbaiki diri.
Sikap yang diharapkan dari khair al-ummah: Janganlah terlalu latah dalam menilai kadar kesalehan sesama dengan hanya berdasarkan perbedaan aliran lalu buru-buru menghakimi “sesat” pada suatu kelompok keagamaan. Hendaknya lebih rendah hati dalam menilai kualitas ketakwaan saudara seiman sehingga tidak muncul polemik dan kegaduhan di kalanganl umat Islam. Sesungguhnya apabila dalam penilaian dilakukan secara benar dan adil seharusnya tidak ada halangan apapun untuk mengakui dan menghargai kemajemukan kelompok dan faham keagamaan. Karena sebagaimana agama-agama lain, kendati Islam berkitab suci satu, interpretasinya selalu mewujud dalam wajah yang majemuk, yang tak jarang saling menegasikan satu dengan yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H