Mohon tunggu...
Alfian Haris Aryawan
Alfian Haris Aryawan Mohon Tunggu... -

planologi 2k14 ITS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Urban Sprawl Sudah Lama Naik ke Permukaan

29 Desember 2014   19:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:14 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Alfian Haris Aryawan

Indonesia adalah suatu Negara kepulauan dengan kepadatan penduduk tertinggi keempat di dunia. 3.5 juta jiwa bertambah disetiap tahunnya. Dengan pertambahan penduduk yang sangat pesat tersebut, bertambah juga tingkat kebutuhan penduduknya. Termasuk salah satunya adalah tingkat kebutuhan lahan. Tingkat kebutuhan akan lahan ini menyebabkan terjadinya urban sprawl.

Urban sprawl adalah suatu kejadian atau peristiwa pengembangan dan perluasan daerah perkotaan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota sebagai suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930-an saat pertama kali istilah urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi (Subroto, dkk, 1997).

Banyak alasan yang mendasari terjadinya fenomena urban sprawl, mulai dari perilaku masyarakat yang lebih memilih untuk bermukim diarea pinggiran kota, asumsi harga lahan yang lebih murah dan terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat yang belum banyak tercemari seperti pusat kota. Kemudian keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diyakini masih belum dapat diimplementasikan dalam mencapai tata ruang yang pro-lingkungan. Terlalu banyak kepentingan sosial ekonomi yang ingin dilaksanakan oleh pemerintah setempat, sehingga pada kenyataannya mempengaruhi pelaksanaan RTRW yang menyebabkan fungsi lingkungan terabaikan.

Salah satu contoh kota yang mengalami urban sprawl adalah daerah pinggiran kota Yogyakarta (di kutip dari: “GEJALA URBAN SPRAWL SEBAGAI PEMICU PROSES DENSIFIKASI PERMUKIMAN DI DAERAH PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE AREA) (Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta)” oleh Sri Rum Giyarsih). Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat kebudayaan, pusat pemerintahan, daerah pariwisata, dan kota pelajar yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan secara terus-menerus ini mengakibatkan daerah yang langsung berbatasan dengan Kota Yogyakarta, telah banyak mendapat pengaruh kota. Perkembangan fungsi Kota Yogyakarta yang semakin tinggi intensitasnya dihadapkan pada keterbatasan lahan yang mengakibatkan sulitnya memperoleh lahan untuk mewadahi tuntutan kehidupan kota. Sebagai kota kebudayaan dengan terdapatnya daerah-daerah yang mempunyai nilai sejarah dan budaya, maka daerah-daerah tersebut perlu dilestarikan. Dengan demikian maka perkembangan Kota Yogyakarta akhirnya mengarah ke daerah pinggiran kota, yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul dan Sleman (Sontosudarmo, 1987). Secara spasial distribusi desa-desa di pinggiran Kota Yogyakarta di sajikan pada peta 1.

Peningkatan migrasi secara konsisten selama dua puluh tahun terakhir tampaknya berkaitan dengan peningkatan penduduk dari luar daerah yang belajar di propinsi ini. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa sebagian besar migran berusia 15-29 tahun (Sukamdi, dkk, 1992). Dengan mempertimbangkan bahwa usia tersebut merupakan usia SMU dan Perguruan Tinggi, maka ciri tersebut merupakan salah satu bukti bahwa migran yang masuk ke Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pelajar dan mahasiswa.

Disamping mobilitas permanen atau migrasi, dinamika penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ditandai pula dengan menonjolnya mobilitas penduduk non permanen baik nglaju maupun sirkulasi. Nampaknya mobilitas penduduk non permanen ini merupakan tipe dominan bagi Kota Yogyakarta. Hasil penelitian Yunus (1989) menunjukkan bahwa 85% migran tidak ingin menetap di Kota Yogyakarta. Artinya bahwa Kota Yogyakarta hanya merupakan tempat untuk mencari nafkah, bukan sebagai tempat tinggal. Gejala lain yang tampak bahwa keadaan tersebut sudah mulai merembes ke daerah sekitar kota. Akibatnya daerah sekitar kota terutama daerah pinggiran kota yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta akan menjadi daerah padat penduduk. Hal ini terjadi karena Kota Yogyakarta sudah mengalami kejenuhan sebagai daerah tempat tinggal. Karena kejenuhan tersebut, diperkirakan akan terjadi peluberan penduduk ke daerah pinggiran kota (Sukamdi, dkk, 1992). Keadaan ini akan diikuti oleh terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota.

Tidak hanya permukiman penduduk saja yang mempengaruhi terjadinya proses densifikasi bangunan, namun juga adanya difusi bangunan-bangunan prasarana sosial ekonomi ke arah pinggiran akan mempengaruhi kepadatan bangunan di pinggiran kota Yogyakarta. Salah satu contoh dari bangunan prasarana sosial ekonomi ini adalah bangunan fasilitas pendidikan yang berupa kampus perguruan tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rini Rachmawati (1999) menunjukkan bahwa difusi kampus perguruan tinggi ke arah pinggiran kota sebagai gejala urban sprawl mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam memicu gejala densifikasi permukiman di sekitar kampus tersebut. Dari penelitian ini dapat dibuktikan bahwa pola perkembangan ruang yang terjadi dengan adanya difusi kampus ke arah pinggiran ini menimbulkan efek primer berupa berdirinya rumah-rumah pondokan mahasiswa dan efek sekunder berupa pendirian warung makan, toko kelontong, dan pelayanan foto capy untuk melayani kebutuhan mahasiswa.

Peneliti lain yaitu Yunus (2001) menemukan adanya gejala pengurangan lahan persawahan di daerah pinggiran kota Yogyakarta. Tabel 1 mengilustrasikan gejala pengurangan lahan persawahan secara spasial di daerah pinggiran kota Yogyakarta.

Tabel 1

Besarnya Pengurangan Lahan Persawahan

di Desa-Desa Pinggiran Kota Yogyakarta 1987-1996 (Hektar) Desa

Luas Pengurangan

Lahan Persawahan

1987-1996

Percepatan Pengurangan

1987-1996

Bangunharjo

66

7,3

Banguntapan

24

2,7

Trihanggo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun