Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengapa Pengelolaan Zakat di Indonesia Masih Belum Efektif?

14 Maret 2017   14:22 Diperbarui: 14 Maret 2017   14:47 25460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia dalam Undang-undangnya menjamin kemerdekaan tiap-tiap individu untuk menganut dan menjalankan aturan agamanya. Maka zakat sebagai salah satu Rukun Islam menjadi kewajiban individu muslim dari populasi muslim terbesar di dunia. Kemajuan pengelolaan zakat harus kita terima, disamping ketidakefektifan tata kelola zakat di negeri kita. Masyarakat sebagai subjek harus diatur oleh lembaga yang berwenang sehingga pengelolaan itu bisa terwujud secara efektif. Faktanya, justru diluar harapan bersama. Mungkin beberapa alasan di bawah ini bisa menjelaskan sebab pengelolaan zakat yang tidak efektif di Indonesia:

  1. Kesadaran masyarakat yang kurang terhadap peran zakat bagi perekonomian. Zakat sebagai intrumen penting tidak hanya sebatas pemenuhan rukun Islam, namun lebih luas dalam sudut pandang agama, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Dorongan zakat yang terlihat saat ini hanya dari sisi pemenuhan kewajiban muzakki (orang yang membayar zakat), padahal ada hal penting lain berupa sisi kemanfaatan masa depan bagi mustahik(orang yang menerima zakat). Zakat sebagai instrumen penting distribusi ekonomi agar harta para aghniya (orang kaya) bisa beredar ke kalangan dhuafa (orang lemah ekonomi). Menurut data salah satu LAZ terpercaya, Dompet Dhuafa, menilai potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp. 217 trilyun. Namun realistisnya yang terhimpun baru sekitar Rp. 2,73 trilyun, artinya baru sekitar satu persen zakat yang terhimpun dari potensi zakat yang ada di Indonesia. (Kompas.com 2/7/16). Dari realitas ini masyarakat harus kembali digalakkan pemahamannya tentang zakat, karena awamnya yang dipahami masyarakat hanya berupa zakat fitrah yang dikeluarkan saat Bulan Ramadhan saja. Padahal, jenis zakat dan tujuan berzakat itulah yang penting diedukasi kepada masyarakat. 
  2. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah yang lemah dan tidak transparan. Harus diakui bahwa BAZ yang dibentuk pemerintah masih jauh dari prinsip professional-productive. BAZ Daerah yang dibentuk oleh pemerintah hanya menerima pengumpulan yang sifatnya masih terbatas pegawai negeri dan zakat profesi. Meskipun tidak semua, tapi kebanyakan masyarakat lebih memilih LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dibentuk oleh non-pemerintah karena lebih dipercaya dan lebih fleksibel untuk pengumpulannya. Zakat yang dibayarkan dapat dilakukan sewaktu-waktu dan bentuk zakat yang disalurkan bermacam-macam, seperti zakat fitrah, zakat mal, zakat profesi, zakat pertanian, zakat fidyah, qurban, hingga menerima shodaqoh berupa pakaian dan barang-barang bekas yang masih layak dan bisa dimanfaatkan kembali. Jika dilihat, masyarakat Indonesia lebih menginginkan hal yang praktis dan mudah dalam pengelolaan zakat. Keterbatasan lembaga pemerintah tidak menutupi perspektif masyarakat akan kekurangan yang dimiliki, bisa jadi karena faktor ketidaknyamanan saja; atau bisa jadi ketidakpercayaan itu muncul atas lemahnya sistem birokrasi dan good governance dalam tubuh lembaga itu sendiri. Maka penting untuk mengatur positioning lembaga pemerintah terhadap zakat sehingga masyarakat tidak hanya sekedar pemenuhan pribadi atas kewajiban agamanya, tapi karena dorongan kesejahteraan masyarakat yang harus dikelola oleh negara. 
  3. Kurangnya dukungan negara untuk proaktif dalam berjalannya UU tentang zakat. Tugas pemerintah tidak hanya menyediakan pelayanan dan menciptakan kondisi yang kondusif, harus ada ketegasan yang ditunjukkan kepada para muzakki agar terwujudnya pembangunan ekonomi bersama melalui zakat. Pendekatan harus terus dilakukan oleh pemerintah berbarengan dengan penekanan akan pentingnya membayar zakat bagi seorang muslim. Sayangnya tidak ada sanksi yang dijelaskan bagi yang tidak membayar zakat, yang ada sanksi bagi lembaga pengelola yang menyalahi aturan. Berbeda dengan zaman Abu Bakar ash Shiddiq yang tegas terhadap rakyatnya yang tidak membayar zakat, zaman sekarang pemerintah justru tegas terhadap rakyat yang tidak membayar pajak, itupun dirsak citranya karena pengelolaan pajak yang amburadul karena sering menjadi objek korupsi.
  4. Tidak adanya standar baku tentang zakat ditengah heterogen masyarakat yang awam terhadap zakat. Masyarakat awam hanya mengetahui pembayaran zakat hanya saat bulan Ramadhan, selain zakat fitrah jarang orang yang paham akan hukum kewajiban zakat lainnya. Meskipun sebagian sudah paham, banyak yang menyalurkannya langsung kepada orang yang membutuhkan (mustahik) atau lembaga penyalur non-pemerintah. Hal ini timbul karena menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, dikarenakan buruknya sistem pemerintahan ditengah maraknya korupsi pejabat negara. Dikhawatirkan pendistribusiannya memakan waktu lebih lama, tidak merata, atau ada pemotongan biaya. Apalagi keluarnya UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat melahirkan multitafsir sehingga kontroversi untuk menggugat UU ini ke pengajuan banding Mahkamah Konstitusi semakin banyak dibicarakan. Terutama bagi para Amil (pengelola) Zakat yang sudah dipercaya oleh masyarakat namun dibatasi geraknya karena ada syarat ormas yang dicantumkan dalam Undang-undang.
  5. Distribusi zakat hanya untuk kepentingan konsumtif masyarakat. Zakat yang disalurkan untuk konsumsi masyarakat tidaklah salah, karena tujuan zakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mustahik. Namun alangkah baiknya jika penyaluran zakat didistribusikan untuk kepentingan produktif sehingga kaum dhuafa mampu mandiri dan manfaatnya dirasakan untuk jangka panjang. Hal ini yang menjadikan zakat mampu mengentaskan kemiskinan, karena prinsipnya masyarakat tidak diberikan ikan segar melainkan alat pancing yang akan mereka gunakan untuk menangkap ikan lebih banyak. Disamping itu Islam memandang keharusan pemerintah untuk menjamin kebutuhan asasi manusia berupa kesehatan, keamanan, pendidikan, dan makanan pokok bagi setiap individu rakyatnya.

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin | Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun