Mengakui karya tulis orang sebagai karya asli diri sendiri, baik hasil dari membeli ataupun memodifikasi karya sebelumnya, merupakan plagiarisme yang lebih jahat dibandingkan mengutip alinea karya orang lain dan tidak menyebutkan sumber asalnya. Ulah oknum mahasiswa yang memesankan skripsi kepada orang lain atau mengganti data-data karya skripsi orang lain dengan dengan data-data fiktif memperlihatkan bahwa tindakan berbohong bisa diterima. Logika yang dipakai bukan benar atau salah, melainkan menguntungkan atau tidak. Sebab, membuat karya asli sendiri masih dipersepsi membutuhkan dana lebih banyak dibandingkan merogoh kocek untuk mendapatkan garansi dari pembuat skripsi.
Kalangan yang menghargai tradisi kejujuran di dunia akademis pasti miris dengan fakta di atas. Karya ilmiah yang semestinya sakral karena memuat gagasan pembuatnya, ternyata dihargai seperti komoditas massal. Jangankan dengan harga murah, dengan harga mahal pun upaya membuatkan karya tulis untuk orang lain tetap merusak dunia akademis. Oleh karena itu, praktik harga miring yang mulai ditawarkan para penjual jasa pembuat skripsi jelas-jelas pelecehan dunia intelektual. Bila kejujuran dan tanggung jawab merupakan fondasi dunia akademis, membiarkan kedua nilai ini dilanggar sama artinya meruntuhkan intelektualitas civitas kampus.
Mahasiswa yang selama ini larut dalam bujukan konsumerisme dan hedonisme tentu tak terlalu lama berpikir panjang menerima tawaran praktik banting harga para penjual jasa pembuatan skripsi. Dengan mengeluarkan uang yang relatif sedikit, mereka tetap bisa menikmati gaya hidup hedonis tanpa harus direpotkan untuk memikirkan skripsi. Karena cukup membayarkan sedikit uang pula, mereka menjadi tak segan memanfaatkan dana sisa kiriman orangtua yang sebenarnya untuk penelitian dan pembuatan skripsi secara mandiri. Â
Meski praktik di atas bukan temuan baru, pihak kampus seolah tidak mau tahu dengan kenyataan yang ada. Ada kesan, lantaran akut dan sistemiknya, membuka kejahatan plagiarisme berarti pihak kampus harus bersiap-siap mencabut keaslian banyak skripsi yang dibuat mahasiswanya yang telah lulus kuliah. Langkah ini sama saja membuka aib kampus yang getol-getolnya memoles diri dengan klaim kampus kelas dunia. Tidak heran, jangankan melakukan investigasi dan tindakan tegas, sekedar mencurigai saja terkesan setengah hati. Mungkin akibat akut dan sistematiknya praktik plagiarisme, kampus-kampus memilih bersama-sama melakukan perlawanan terhadap kejahatan intelektual itu.
Perlu adanya komitmen bersama semua elemen pendidikan untuk tidak melakukan kegiatan menyontek dan plagiat. Setelah membuat komitmen, yang dibutuhkan berikutnya adalah kesungguhan, keseriusan, dan kesabaran dalam memberantas plagiarisme. Tindakan yang diambil tidak bisa setengah-setengah, termasuk menepiskan kekhawatiran akan buruknya citra kampus manakala terkuak praktik plagiarisme. Kekonsistenan menjadi penting agar tidak terkesan kampus mendukung mendukung perlawanan terhadap plagiarisme, tetapi sejatinya selama ini membiarkan praktik-praktik plagiarisme. Jadi, ikut dalam komitmen bersama untuk tidak melakukan plagiat bukan sebagai alibi manakala ditemukan kasus penjiplakan dan jual-beli karya ilmiah.
Plagiarisme di dunia kampus kita tak ubahnya serangan ulat bulu di tanaman. Plagiarisme memang tidak sampai membangkrutkan kampus, seperti ulat bulu tidak sampai mematikan tanaman pohon yang diserangnya. Namun, adanya serangan ulat bulu, plagiarisme, menandakan adanya kerusakan pada fondasi keberadaban tempat mengader calon intelektual. Kejujuran, tanggung jawab, serta menghargai dan menghormati hak milik orang lain terabaikan demi kepentingan pribadi.
Seperti halnya ulat bulu yang perlu diputus rantai penyebarannya dengan insektida hayati, demikian pula plagiarisme. Insektida hayati itu berupa tradisi memikirkan proses dan menghargai nilai-nilai kerja dibandingkan hasil cepat dan gengsi. Kampus sudah saatnya memberikan pendampingan, tidak hanya memampang besar-besaran title peringkat World Class University sementara kompetisi internal kampus dan insentif manusiawi atas karya-karya ilmiah dosen dan mahasiswanya saja kurang terpikirkan.
Mengusut karya ilmiah tergolong plagiat atau bukan semestinya sudah mengakar dalam kerja-kerja akademis. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah penetapan aturan Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi untuk mengatasi kekhawatiran akan keterbatasan skripsi dalam hal waktu, biaya, dan relevansinya dengan dunia kerja. Sehingga tugas akhir yang bisa menggantikan skripsi bisa berupa: proyek, magang, prototipe, karya monumental seperti Teknologi Tepat Guna (TTG), dan pencapaian prestasi seperti medali emas di ajang olimpiade. Sedangkan sanksi plagiarisme skripsi bisa meliputi: gelar mahasiswa dapat dicabut, pidana penjara paling lama dua tahun, dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta. Ringkasnya, menurut penulis, yang dibutuhkan bukan hanya retorika dan andil paraf di komitmen bersama melawan plagiarisme, tetapi yang lebih penting adalah kesungguhan di lapangan.
Sumber Referensi:
Maulana, Yusuf. 2021. Kalam Pencandu Buku (Cerita Bahagia Ambisi Perburuan Ilmu). Sleman: GAZA Library Publishing.
Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Tanjung. 8 Juni 2024. "Plagiat Skripsi? Apa Hukumannya?". Diakses pada tanggal 27 Januari 2025 dari https://sippn.menpan.go.id/berita/127064/rumah-tahanan-negara-kelas-iib-tanjung/plagiat-skripsi-apa-hukumannya
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI