Dalam surah An-Nur (24): 35, Allah menggunakan ungkapan,
"Allah, cahaya langit dan bumi."
Mengapa dipilih cahaya? Mengapa tidak ungkapan “Allah air kehidupan”? Bukankah air merupakan hal yang mendasar bagi kehidupan? Tanpa air, kehidupan tidak dapat berlangsung. Keutamaan apa yang dimiliki oleh cahaya?
Meski sumber cahaya dapat diperoleh di rumah-rumah, kantor-kantor, pos-pos ronda, atau di jalan-jalan berupa bola lampu listrik juga senter, cahaya lebih sering diidentifikasi berasal dari matahari. Kenyataan ini seolah menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya materiel menuju hal yang imateriel, membimbing untuk Mi’raj atau pendakian dari bumi, tempat batu ambar dan batu lapis, menuju langit, tempat matahari berada.
Semuanya berasal dari Yang Satu atau to Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu dengan upaya atau langkah-langkah berikut. Pertama, penyucian, yaitu proses pelepasan diri dari materi dengan laku tapa. Kedua, penerangan ketika manusia diterangi dengan pengetahuan tentang Idea Akal Budi dan akhirnya mencapai tahap penyatuan dengan Yang Satu.
Semua manusia berupaya memahami dan menggapai cahaya. Semua agama besar menempatkannya sebagai tema sentral. Pencarian ilmiah sejak leluhur prasejarah sampai arsitek teknologi modern ultracanggih dipenuhi oleh cahaya. Para peziarah, baik ke Makkah, Jerusalem, Allahabad, Amritsar, CERN, atau Fermilab, semua berburu cahaya.
"Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki."
Dalam hati semua manusia, bahkan di jantung hati alam semesta itu sendiri, kita mendeteksi gaung ilahiah yang dalam ungkapan verbal barangkali mirip dengan ungkapan Einstein, “Dalam sisa hidupku, aku terus mencoba memahami makna hakiki dari cahaya.”
Referensi:
Purwanto, Agus, 2015, “Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi Al-Quran Yang Terlupakan”, Penerbit