Mohon tunggu...
afif afifuddin
afif afifuddin Mohon Tunggu... -

Saya adalah penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menteri Susi, Bukti Negeri Ini Krisis Kepercayaan?

30 Oktober 2014   18:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:09 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heboh Sanjung dan Cibir pengangkatan Susi Pudjiastuti menjadi Menteri KKP kini ramai dibahas masyarakat baik melalui sarana online maupun di tingkat akar rumput. Pihak yang pro menganggap kapasitas yang dimiliki pejabat2 sebelumnya yang memiliki deretan gelar akademis, toh tidak juga bisa mengangkat “kehidupan” kelautan Indonesia menjadi lebih baik. Lebih lanjut mereka juga menilai deretan gelar akademis seorang pejabat tidaklah pula barbanding searah dengan moral dan integritas yang dimiliki dalam menajalankan amanah yang diberikan. Sehingga yang sering terjadi adalah kepintarannya hanya digunakan untuk “mengakali” rakyat. Sedangkan pihak yang kontra mengatakan “untuk apa didirikan lembaga pendidikan hingga ke tingkat tinggi, jika untuk menjadi pejabat setingkat menteri toh tidak pula diperlukan kemampuan akademis yang tinggi”. Atau dengan bahasa sederhananya “tidak perlulah anak saya berpendidikan tinggi, jika segala sesuatunya di republik ini hanya berdasarkan kemampuan finansial”. Pola pikir yang terbentuk seperti ini tentu sangat berbahaya terutama bagi generasi mendatang.

Atau banyak juga yang menyoroti pada aspek kehidupan pribadi ibu mentri yang bagi sebagian orang dianggap kurang mencerminkan tata prilaku, dan norma yang dianut bangsa ini. Apalagi jabatan setingkat menteri adalah orang yang notabene akan menjadi contoh tauladan pada anak-anak muda dan generasi bangsa. Sehingga orang yang kurang memiliki prilaku yang mencerminkan norma dan budaya bangsa ini, tidaklah layak untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin dan panutan. Adapun yang pro, bersikap lebih apatis dan menyandarkan pada kenyataan hari ini bahwa orang-orang yang “berpeci” sekalipun hanya menjadi kedok untuk “mencuri”.

Memandang hal ini sebaiknya kita tidak terjebak pada polarisasi pro maupun kontra. Alangkah lebih bijak jika kita sebagai sebuah bangsa dapat menarik benang merah dari hal semacam ini. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dijadikan renungaan bersama atas polemik ini. Pertama, bahwa mau tidak mau dan suka tidak suka kita harus mengakui bahwa hingga saat ini lembaga pendidikan formal di negeri ini ternyata belum mampu menciptakan generasi-generasi unggul yang dapat mengatasi masalah bangsa yang ada. Ini terbukti ketika Presiden Joko Widodo lebih memilih mentrinya yang hanya berijazah SMP ketimbang master di bidang kelautan yang jumlahnya mungkin ada hingga ribuan orang di Indonesia. Apakah Presiden juga sudah kehilangan kepercayaan terhadap lulusan lembaga pendidikan tinggi formal yang ada? Apakah presiden sendiri meragukan kapasitas dan kapabilitas lulusan-lulusan perguruan tinggi yang ada untuk dapat menuntaskan persoalan bangsa? Di ranah masyarakat, penangkatan ibu Susi menjadi mentri KKP juga banyak menuai pujian dan harapan baru dari masyarkat luas, khususnya masyarakat di sektor perikanan dan kelautan setelah sekian lama tidak juga mengalami kemajuan yang berarti dalam kehidupannya meski telah dipimpinm orang yang punya titel segudang.

Kedua, bahwa mau tidak mau dan suka tidak suka kita harus mengakui juga bahwa masyarakat juga telah kehilangan kepercayaan pada norma2 yang berlaku maupun pada lembaga penjaga nilai2 dan norma yang ada. Ini termasuk juga pada partai politik yang mengusung agama sebagai azas dan perjuangannya. Masyarakat sudah sangat apatis terhadap isu moralitas, baik itu kepada individu yang dianggap sebagai representasi “tuhan” maupun terhadap lembaga “penjaga” moralitas lainnya. Ini terlihat dengan banyaknya ungkapan di masyarakat seperti, “pakai peci ternyata pencuri”, “partai ka’bah isinya koruptor”, atau dengan ungkapan seperti “lebih baik merokok, tatooan dan wine, apa adanya daripada berpura2 alim tapi ternyata hanya korupsi dan main pushtun”.

Tulisan ini tentu tidak ditujukan untuk menjatuhkan ataupun mendiskreditkan seseorang ataupun pihak tertentu. Apalagi tulisan ini sebenarnya masih sangat prematur dan memerlukan rangkaian pengujian untuk pembuktiannya. Tapi setidaknya melalui tulisan ini diharapkan kita sebagai anak bangsa perlu untuk memikirkan lebih dalam lagi mengenai krisis kepercayaan yang menimpa seluruh sektor kehidupan berbangsa kita hingga ke tingkat akar rumput.

AFIFUDDIN, SSTadalah seorang PPL di wlayah langkat. Tertarik dan hobi menulis terutama pada isu-isu kebangsaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun